Chapter 3. Ruang Tunggu

303 61 5
                                        

Mobil meluncur perlahan keluar dari halaman rumah besar di kawasan Jakarta Selatan itu. Udara pagi sudah mulai terlalu hangat, sinar matahari mengintip naik di antara gedung-gedung. Jam di dashboard menunjukkan pukul 07.02—ini adalah hari kedua Dewa bekerja sebagai sopir freelance.

Di kursi belakang, Shea duduk tenang dengan penampilan yang sempurna dari ujung kaki hingga helaian rambut. Riasannya lembut membuatnya semakin terlihat elok, dan rambutnya kali ini tidak dikuncir kepang berantakan seperti kemarin, melainkan bergelombang sederhana dengan poni samping yang membingkai wajahnya—nyaris seperti yang Dewa lihat di iklan televisi atau video promosi yang lewat di beranda Facebook-nya. Earphone putih terpasang di telinganya, dan tak lama setelah mobil melaju, matanya terpejam seolah hendak mencuri waktu tidur sebelum memulai pekerjaan.

Di sebelah Shea ada Rina, tampak jauh lebih hidup daripada artis yang ia urusi. Di pangkuannya terbuka sebuah iPad dengan notifikasi baru yang terus berdatangan. Jarinya bergerak cepat di layar—membalas pesan, menyusun jadwal baru, memeriksa kontrak. Sesekali, suara ketukan keyboard menyatu dengan denggung lembut mesin mobil.

Tujuan mereka pagi itu adalah menghadiri press conference untuk peluncuran seri terbaru produk kosmetik yang Shea bintangi. Brand tersebut sudah menggandengnya sebagai brand ambassador selama 5 tahun terakhir dan kehadirannya pagi ini penting untuk menjaga eksposur publik sekaligus hubungan baik dengan pihak sponsor.

Sekitar setengah jam kemudian, mobil berhenti di depan sebuah hotel bintang empat di kawasan Thamrin. Ada plang besar terpampang di lobby depan: 'Press Conference: Veluna Presents—The Rosetra Series Launch.' Di dalam atau lebih tepatnya di ballroom, sudah terisi hampir penuh oleh sebagian beauty influencer yang sibuk berfoto di dinding latar berlogo brand, beberapa di antaranya bahkan sudah menyiarkan acara lewat live streaming. Sementara itu, sejumlah penggemar Shea mendominasi berdiri di balik pembatas, menenteng goodie bag dan ponsel yang siap merekam setiap momen. Suasana terasa riuh, penuh suara tawa, dan musik pop lembut yang mengalun samar.

Dewa turun terlebih dahulu, berjalan ke sisi belakang mobil untuk membukakan pintu. Shea melangkah keluar dengan elegan, disambut oleh seorang kru berheadset yang mengenakan tanda pengenal acara di lehernya.

“Selamat pagi, Mbak Shea. Kita langsung ke ruang tunggu, ya. Nanti Mbak Shea naik mulai jam 9 kurang seperempat,” jelas sang kru.

Shea hanya mengangguk, mengikuti langkah kru tersebut menuju pintu samping yang lebih tenang. Di belakangnya, Rina berjalan sambil menatap layar iPad-nya—masih sempat membalas pesan yang tidak ada habisnya juga. Sebelum ikut masuk, Rina menoleh sebentar ke arah Dewa dan menyerahkan sebuah kartu akses berwarna hitam dengan tali gantung bertuliskan Crew Pass.

“Buat jaga-jaga, Mas. Biar nggak repot kalo nanti harus nyusul ke dalem,” kata Rina singkat.

Dewa menerima kartu itu dengan anggukan sopan. Begitu semua masuk ke dalam hotel, ia menutup pintu mobil perlahan dan menarik napas kecil. Udara di luar membuat perutnya bergejolak pelan karena belum sempat terisi sejak bangun tadi. Ia sempat melihat jika di sebrang hotel, ada sebuah warung sederhana bertuliskan 'Soto Betawi - Berdiri Sejak 1998.' Dari jauh saja aroma kaldu ayamnya sudah tercium, mengalir bersama uap panas yang keluar dari panci besar di dapur terbuka tersebut. Ia melewati deretan mobil mewah yang berjejer di depan hotel, menyeberang dengan hati-hati, dan langsung masuk ke warung yang lumayan ramai tersebut.

"Buk, makan di sini, soto satu sama teh manis anget, ya," ujar Dewa lalu duduk di kursi plastik yang sudah agak goyah.

Tak sampai 5 menit, semangkok soto dengan uap mengepul sudah terhidang di depannya. Dewa menyendok pelan, meniup kuahnya sedikit, lalu menyeruputnya—hangat, gurih, dan menyenangkan lidah. Sepertinya ini sarapan paling nikmat yang pernah ia makan dalam seminggu terakhir. Kuahnya hangat, asin-gurihnya pas, dan potongan ayamnya empuk di lidah. Tak butuh waktu lama sampai mangkok di depannya benar-benar bersih licin tanpa sisa, bahkan bawang goreng terakhir pun ikut ia sendok.

Not in the ScriptWhere stories live. Discover now