Di tempat duduknya, Arya tidak berhenti tersenyum. Serangan balasannya berhasil lagi. Skor 2-2 sekarang. Imbang, dengan bonus dia yang bisa melihat Nala sedang salah tingkah di sebelahnya.
Arya menyandarkan punggungnya ke jok mobil. Sengaja memberi Nala waktu untuk menikmati kesalah-tingkahannya. Kalau tebakannya benar, Nala pasti sedang bergelut dengan perasaannya sekarang. Memilah respons terbaik yang seharusnya diberikan pada dirinya.
Tidak lama kemudian, Arya menghembuskan napas pelan, seolah mengumpulkan keberanian terakhir sebelum lanjut bicara.
"La... denger ya." Suaranya berubah lebih lembut, lebih tenang, tapi tetap mantap. "Gue nggak pernah minta lo mikirin perasaan gue."
Nala langsung menatap. Refleks. Mata Arya terlalu jujur untuk dihindari saat bicara begitu.
"Gue nggak mau itu jadi beban buat lo," lanjut Arya. "Kalau lo ngerasa nggak nyaman sama gue, atau sama cara gue deketin lo... bilang aja." Ia menelan ludah, pelan. "Biar gue bisa kontrol diri. Biar gue tau batasannya."
Karena gue sering lepas kontrol, La.
Arya menambahkannya di dalam hati.
Nala membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Ragu ingin bicara. Ada sesuatu di dadanya yang terasa bergemuruh tapi susah payah ia coba untuk kendalikan.
"Ar..." suaranya akhirnya keluar, lirih. "Gue... belum bisa bales perasaan lo."
Itu kalimat yang selama ini ia tahan mati-matian. Berat di lidah. Perih di dada. Tapi akhirnya keluar juga. Kalimat penolakan yang selama ini cuma berakhir di tenggorokan tanpa sanggup ia ucapkan.
Arya mengangguk kecil. Tidak kaget atau kecewa. Justru terlihat seperti seseorang yang akhirnya mendengar jawaban jujur yang sudah sejak lama ia tunggu-tunggu.
"Gue tau," ucapnya pelan. "Dan itu nggak apa-apa, La." Suaranya terdengar menenangkan. Tidak seperti suara orang yang baru saja ditolak gebetan.
Nala tertegun.
Arya tersenyum miring, "Perasaan gue biar jadi urusan gue. Jangan dibawa ke pundak lo."
Ia mengalihkan pandang sejenak, menarik napas dalam, lalu kembali menatap Nala. Tatapnya masih intens tapi tidak menuntut.
"Yang penting lo nyaman selama sama gue." Keheningan menggantung sebentar. Lalu Arya menambahkan dengan napas yang lebih ringan. "Lo bisa bersikap ke gue kayak lo ke Dewa. Dulu kalian pernah deket, tapi sekarang tetep bisa kerja bareng, ngobrol bareng, sesekali juga jalan bareng. Santai, kayak nggak ada apa-apa. That's fine. Dan gue..." Arya menunjuk dirinya sendiri dengan ibu jari. "Gue bisa ngikutin itu."
"Ar..." suara Nala hampir tidak terdengar.
"Utamain kenyamanan lo dulu," kata Arya lagi, lembut tapi tegas. "Kalau lo mau gue jadi temen, gue bakal jadi temen lo. Kalau lo mau gue jaga jarak, gue juga bakal jaga jarak. Gue nggak maksa lo bales perasaan gue sekarang, besok, atau kapan pun."
Arya menoleh ke kaca depan, seolah memberi ruang agar kata-katanya turun perlahan. "Gue bakal jalanin ini pelan-pelan, sesuai ritme lo. Urusan hati gue? Biar gue yang handle. Itu tanggung jawab gue, bukan lo."
Nala memejamkan mata sebentar, menahan sesuatu yang bercampur antara lega dan takut. Karena jawaban Arya terlalu tulus. Terlalu baik.
He's just too good to be true.
"Ar," Nala akhirnya berkata pelan, "gue nggak mau nyakitin lo."
Arya tersenyum kecil, melirik ke arahnya. "Belom tentu lo bakal nyakitin gue. Jangan ambil kesimpulan duluan. Kita masih jauh dari garis finish, La."
YOU ARE READING
JEDA - The Spaces Between
ChickLitApa jadinya jika Arya, yang sedang dalam proses mengobati luka patah hati, bertemu dengan Nala, gadis yang memiliki commitment issue? Lucunya, Nala bekerja di sebuah event organizer yang juga menangani acara pernikahan. Dia mati-matian mewujudkan we...
Don't Move, I'll Come To You
Start from the beginning
