I passed my hardest moments alone, while everyone believe I was fine.
***
Nala melewati saat-saat sulit dalam hidupnya sendirian, di saat orang lain percaya bahwa dirinya baik-baik saja. Berbagi sakit tidak semudah mengajak orang untuk tertawa bersama. Sudah naluri bahwa manusia hanya ingin berbagi bahagia, tidak dengan luka. Dan empati hanya berlangsung sementara.
Saat ada yang mengatakan mengerti apa yang kita rasakan, bukan berarti mereka benar-benar mengerti. Mereka hanya 'mencoba' untuk mengerti, tanpa berniat benar-benar merasakan sakit yang sesungguhnya. Tidak sampai sejauh itu.
Sebenarnya Nala bukan seorang introvert yang tertutup dan terbiasa menyimpan isi hatinya sendirian. Tentu ada sebabnya kenapa dia bekerja di perusahaan event organizer, karena dia bisa dengan mudah berbaur dan membangun koneksi yang baik dengan orang dan lingkungan baru. Membangun konversasi dengan klien yang baru ditemui pun bukan hal sulit untuk Nala. Semudah menarik napas setiap hari.
Tapi berbagi luka dan masa lalu, itu lain cerita.
Terakhir kali membuka kisah lamanya pada seorang teman, dia berakhir dijauhi sampai harus menghabiskan tahun pelajaran sendirian, sebelum akhirnya diboyong pindah ke kota lain oleh tantenya.
Nala masih ingat betul tatapan jijik dan takut yang diberikan oleh temannya, kala ia menceritakan kisah kelamnya di hotel malam itu. Seolah Nala seonggok kotoran yang bau dan harus dihindari jauh-jauh. Padahal jelas kejadian itu bukan salahnya.
Ya, tapi salah ayahnya.
Pria yang mewarisi darah yang mengalir di tubuhnya, yang sampai sekarang tidak Nala ketahui keberadaannya karena menghilang begitu saja, bagai ditelan kegelapan. Pria yang selalu membuat Nala meringkuk ketakutan di sudut kamar, sambil merapalkan doa setiap malam, berharap agar dia dan ibunya bisa melalui hari itu dengan aman.
Kali terakhir Nala melihat ayahnya, sebelum menghilang, adalah di pagi hari saat Nala pulang dari rumah Raga, setelah melarikan diri dari hotel. Dengan pakaian kebesaran milik sepupunya yang ia pinjam, Nala masuk ke rumahnya dengan perasaan takut memenuhi hatinya. Wajah murka ayahnya sudah tergambar begitu jelas di kepala. Dan Nala tidak bisa terus menghindar.
Pagi itu seharusnya biasa saja. Seharusnya ada suara wajan, atau sendok beradu pelan di meja makan. Seharusnya ada suara ibunya menyapa dengan mata yang hangat, seperti pagi yang biasa.
Langkah kecil Nala perlahan melebar ketika ibunya tidak juga merespon panggilan yang ia serukan sejak memasuki rumah. Padahal biasanya ibunya selalu menjadi wajah pertama yang ia lihat setiap kali menjejakkan kaki di rumahnya.
Tapi suasana rumahnya terlalu sepi. Kelewat hening. Seperti ada seseorang yang menekan tombol mute untuk menghilangkan suara. Bahkan suara jarum jam di dinding ruang tengah terdengar begitu keras di tengah kesunyian janggal yang Nala rasakan.
Langkahnya menapaki ruang tengah, menatap sekilas bantal sofa yang miring dan syal ibunya yang masih menggantung di punggung sofa. Jejak kehangatan yang biasanya penuh, kini terasa seperti kenangan yang baru saja ditinggalkan.
Nala membuka pintu kamar satu per satu, memanggil lagi, lagi, dan lagi. Tapi suaranya hanya memantul kembali, menampar dadanya sendiri.
Hingga tersisa satu tempat yang belum ia periksa, dapur.
Dan entah kenapa, napasnya terasa buntu. Kakinya menolak melangkah, seperti tubuhnya tahu apa yang menunggu di balik sana. Nala tiba-tiba merasakan berat yang aneh menggelayuti kakinya. Seolah alam bawah sadarnya memeperingatkannya untuk tidak datang ke sana. Tapi Nala tidak menuruti begitu saja peringatan yang menyala begitu lantang di kepalanya.
YOU ARE READING
JEDA - The Spaces Between
ChickLitApa jadinya jika Arya, yang sedang dalam proses mengobati luka patah hati, bertemu dengan Nala, gadis yang memiliki commitment issue? Lucunya, Nala bekerja di sebuah event organizer yang juga menangani acara pernikahan. Dia mati-matian mewujudkan we...
