Pulang

184 26 1
                                        

In the end, it turns out that I was never worth anything.

***

Baskara Yudhistira, Sekar Ayudhia, dan Arya Abimanyu, tiga kakak-beradik yang saling melengkapi satu sama lain. Baskara si sulung yang dominan, tegas dan kharismatik, lawyer sekaligus penerus supremasi keluarga mereka di bidang hukum. Melanjutkan kantor advokat turun-temurun yang didirikan oleh kakek buyut mereka.

Sekar, si anak tengah. Psikolog pengertian, hangat, dan intuitif, yang selalu menjadi tempat curhat kedua saudara laki-lakinya, bahkan sebelum mereka sempat bercerita. Dia mendirikan sebuah klinik psikologi di kompleks perkantoran dekat rumahnya.

Dan yang terakhir, Arya Abimanyu, bungsu yang keluar dari garis advokat keluarga dan memilih untuk menjadi seorang CEO di perusahaan arsitektur miliknya sendiri, yang sekarang sedang terseok-seok menjalani kehidupan karena patah hati.

Sudah beberapa hari Arya tidak pulang ke rumah. Proyek yang ditangani perusahaannya terlalu banyak, dan pulang-pergi ke rumah setiap hari hanya akan membuang waktu. Itu alibinya. Untungnya Arya menyiapkan satu ruangan di kantornya yang ia sulap menjadi kamar tidur saat terpaksa harus menginap.

Tapi, berhari-hari tidak pulang, rindu juga dia dengan masakan sang ibunda. Pilihan menu makanan yang ada di aplikasi pemesanan makanan daring memang variatif, tapi tidak ada yang bisa mengalahkan sedapnya makanan rumah.

SUV hitam milik Arya berhenti di depan pagar yang berdiri gagah, layaknya benteng pembatas antara rumahnya dan dunia luar. Cukup dengan sekali klakson, pekerja di rumahnya langsung berlari dan membukakan pagar untuknya.

Rumah Arya bisa dikatakan lumayan besar. Bergaya American classic dengan dua pilar besar berdiri kokoh di depan pintu masuk. Seolah menandakan status keluarga mereka yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Dominasi warna putih dan krem, dan perabot serta furnitur berukuran besar, ciri khas perumahan bergaya Amerika akan memenuhi pandangan begitu memasuki rumah ini.

Jendela-jendela besar dengan bingkai berwarna hitam memberi akses yang bebas bagi cahaya dan udara untuk masuk. Pintu kayu yang besar, nyaris menyentuh langit-langit, lengkap dengan ukiran rumit yang indah, menjadi penyambut yang hangat bagi setiap orang yang datang.

Begitu masuk ke ruang tamu, lampu gantung kristal menghiasi langit-langit ruangan yang tinggi. Dilengkapi dengan sofa besar berlengan berwarna abu-abu. Terlihat sangat mewah, meski Arya berkali-kali mempertanyakan kegunaannya, karena setiap tamu yang datang ke rumah mereka pasti akan langsung menuju ruang tengah.

Berkali-kali pula Arya mengatakan pada ayahnya untuk merenovasi dan membangun ulang rumah keluarga mereka ini, karena menurutnya rumah dengan gaya seperti ini sudah ketinggalan zaman. Tapi ayahnya menolak. Rumah ini adalah rumah pertama yang ayahnya beli dengan uang sendiri, dan mengubahnya menjadi bentuk baru hanya akan menghilangkan kenangan yang terbentuk di dalamnya.

Arya langsung disambut dengan aroma ayam goreng yang memenuhi hidungnya begitu masuk ke dapur untuk menemui ibunya.

"Masak apa, Mi?" Arya memeluk tubuh ibunya dari belakang, mengecup singkat pipinya, lalu beranjak duduk di kursi makan yang berada tidak jauh dari sana.

"Ayam goreng sama sayur asem," jawab ibu Arya tanpa mengalihkan fokus dari wajan di atas kompor. "Kamu masih inget rumah?"

Satu hal yang selalu dirindukan oleh Arya, masakan ibunya yang tidak akan bisa ia temukan di menu pesan antar makanan mana pun. Siapa bilang orang kaya tidak pernah makan sayur asem? Pasti bukan Arya, karena lauk sayur asem dan ayam goreng lengkuas selalu menjadi menu favoritnya sepanjang masa. Bahkan Arya dan kakaknya, Baskara, bisa bergelut hanya untuk rebutan kremesan ayam goreng buatan ibunya.

JEDA - The Spaces BetweenDonde viven las historias. Descúbrelo ahora