Don't Move, I'll Come To You

Start from the beginning
                                        

Mata Nala menyipit penuh curiga. "Emang lo deket sama dia?"

Susah payah Arya menahan senyum. Takut kelepasan terkembang di wajahnya. "Lumayan. Tapi yang mau gue omongin bukan itu, La." ucap Arya, coba mengarahkan kembali obrolan mereka ke jalan yang benar. Tapi dari ekspresinya, sepertinya Nala masih ingin memperpanjang urusan panggilan Arya ke Rissa.

"Dia yang minta gue panggil Icha. Gue nggak enak kalo nolak. Apalagi dia temen lo," ucap Arya cepat, mencoba membela diri.

Nala berdehem pelan. Tidak ingin menanggapi. Dan jujur saja, sikapnya itu justru membuat Arya gemas. Setengah mati dia menahan diri untuk tidak mencubit pipi Nala yang tengah memerah, entah menahan marah atau malu, itu.

"Padahal inti omongan gue yang tadi tuh, bukan itu, La." Arya mengingatkan. Nala otomatis menoleh dan langsung menemukan kedua mata Arya tengah menatapnya begitu intens.

"Hngg... oke. Lo mau ngomong apa tadi?"

Tidak tahan juga, Arya akhirnya menjulurkan tangannya dan mengacak pelan rambut Nala. "Makanya kalo orang ngomong tuh, didengerin. Jangan malah ngeributin yang lain."

Tidak siap dengan sentuhan mendadak Arya, Nala sontak menjauhkan tubuhnya, hingga membentur sisi pintu mobil yang ada di belakangnya.

"Eh, sorry, La. Refleks," ucap Arya penuh penyesalan, buru-buru menjauhkan tangannya.

Kebiasaan banget, nih. Kontrol diri lo, Ar!

Arya merutuki dirinya sendiri. Sejak dulu, dia selalu punya kebiasaan mengacak-acak rambut wanita yang disukainya. Itu semacam gerak refleks yang ia lakukan tanpa ia sadari.

"Gue cuma mau bilang..." Arya melirik Nala sejenak, memastikan kalau gadis itu sudah tidak lagi merasa risih oleh sentuhannya mendadaknya barusan. "Kalo lo ngerasa nggak nyaman sama gue, bilang ya, La. Gue nggak mau lo ngeladenin gue cuma karena sungkan."

Nala membenarkan posisinya dari yang tadi sempat mepet ke daun pintu mobil, kembali ke tengah kursi penumpang. Ia mencoba kembali fokus dan mendengarkan Arya.

"Kenapa lo ngomong gitu? Gue pernah keliatan nggak nyaman sama lo?"

Arya mengangkat bahu, pura-pura santai. Padahal jantungnya sudah jungkir-balik tidak karuan. "Nggak tau. Gue cuma nggak mau jadi orang yang bikin hari lo makin berat."

Ah, begitu lagi. Kalimat Arya selalu sukses membuat dada Nala menghangat. Agak menyebalkan sebenarnya, di saat Arya bisa bicara sejujur dan seterus-terang itu tanpa terdengar norak sama sekali.

Nala yakin sekali kalau Arya pasti belum tahu menahu soal kehidupan pribadi atau masa lalunya, tapi cara pria itu tidak ingin menambah beban di hidupnya, mau tidak mau membuat Nala sedikit tersentuh.

"Kalo gue yang nggak nyaman kan, nggak mungkin. Tapi kalo lo yang ngerasa keberatan, gue takut lo nggak ngomong. Lo simpen sendirian, terus tau-tau meledak kayak bom waktu."

Nala mendelik. "Jadi gue bom, nih?" Tidak terima dengan analogi yang Arya lontarkan.

"Ya nggak dong." Arya tersenyum miring, menggoda. "Kalo lo sih, lebih mirip kembang api. Keliatannya diem, tapi kalo udah meledak, bisa menyala satu kecamatan."

Nala sampai harus menggigit pipi dalamnya agar tidak tertawa. "Berarti lo mau bilang kalo gue bahaya dong?"

"Nggak. Gue cuma mau bilang, gue suka sama kembang api."

Deg.

Nala refleks menatap ke depan lagi. Pura-pura mengamati pengunjung restoran yang bayangannya terlihat lewat jendela besarnya. Berharap bisa mengalihkan pikirannya dari ucapan Arya yang sangat 'mengundang' itu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: 7 days ago ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

JEDA - The Spaces BetweenWhere stories live. Discover now