Hidup yang sebelumnya ia susun serinci 'letak stop kontak', hal kecil yang selalu ia perhatikan agar semuanya berjalan efektif, mendadak berantakan. Karena untuk pertama kalinya, ada sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan. Tidak bisa ia prediksi. Tidak bisa ia rancang jauh-jauh hari.

Dan anehnya... Arya tidak ingin memperbaikinya.

Ia tidak ingin menertibkan cara Nala datang dan pergi dari pikirannya. Ia tidak ingin mengukur jarak kapan ia harus mendekat dan kapan ia harus menahan diri. Ia tidak ingin mendesain ulang rasa yang muncul begitu bebas, sespontan langkah pertama mereka saat bertemu di Batur.

Plot twist itu datang dalam bentuk perempuan yang membuat semua rencana hidupnya berbelok, namun justru menghadirkan sesuatu yang lebih hidup daripada semua yang pernah ia rancang.

Untuk pertama kalinya, Arya mengerti, tidak semua hal indah harus direncanakan. Tidak semua masa depan harus dipahat dengan garis-garis lurus. Kadang, hal terbaik datang sebagai sketsa liar, sebagai kebetulan yang terasa terlalu tepat untuk sekadar kebetulan.

Dan sejak Nala muncul, Arya sadar, hidupnya akhirnya punya sesuatu yang tidak bisa ia atur, tapi justru ingin ia perjuangkan.

Semula Arya pikir, Nala hanya akan menjadi sesuatu yang sekedar 'lewat' tanpa memberikan kenangan apa-apa. Tapi ternyata gadis itu malah berubah menjadi sosok yang tidak bisa ia abaikan. Sebuah plot twist yang menjadikan Arya menjadi versi yang baru dan tidak ingin kembali ke versi sebelumnya.

"Coba sekali-kali lo ajak dia jalan, Ar. Kalo yang gue tangkep dari cerita lo, kayaknya selama ini kalian ketemunya cuma modal kebetulan doang. Kadang, kesempatan harus diciptain sendiri, bukan cuma ditungguin."

Begitu kata Bhanu kemarin, di sesi konsultasi sore mereka. Ada benarnya. Selama ini Arya dan Nala memang hanya dipertemukan oleh kebetulan. Disatukan oleh pekerjaan. Tidak pernah Arya berinisiatif menciptakan momen untuk mereka berdua.

"Ajak nge-date maksud lo?" Tanya Arya balik pada Bhanu.

"Kecepetan nggak sih, kalo lo sebut date? Jalan berdua aja dulu. Nggak usah yang jauh-jauh. Intinya lo yang inisiatif. Biar dia tau kalo lo emang serius."

Esok sorenya, Arya sudah nangkring di depan kantor Nala, karena di pagi harinya dia menerima kabar dari Rissa kalau gadis itu sudah kembali masuk kantor. Sudah satu jam Arya duduk menunggu di dalam mobilnya yang terparkir di depan kantor Nala. Security kantor situ bahkan sudah menghampirinya, menawarkan diri untuk memanggilkan Nala agar segera turun. Tapi Arya menolak.

Kehadirannya di sini harus menjadi element of surprise yang mengejutkan. Dia tidak mau Nala kaget di dalam kantor sana. Dia mau melihat wajah kaget Nala, langsung dengan matanya sendiri. Meskipun itu artinya dia harus sabar menunggu lebih lama.

Untungnya tidak sampai sepuluh menit kemudian, pintu kantor terbuka dan Nala terlihat melangkah keluar bersama Rissa dan dua temannya yang lain.

Senyuman sumringah langsung terkembang di wajah Arya. Buru-buru dia mematikan mesin mobil, lalu melompat turun.

"La," panggil Arya sambil berjalan mendekat. Lengkap dengan senyumnya yang tanpa ia sadar masih terkembang di wajah.

Nala yang semula tengah asyik mengobrol dengan teman-temannya sontak menoleh. Raut wajahnya langsung berubah kaget begitu melihat Arya yang sedang menghampirinya.

Benar, kan. Menyaksikan momen kagetnya Nala terasa sangat satisfying untuk Arya. Tidak salah memang keputusannya untuk menunggu sampai Nala keluar. Akhirnya dia berhasil menjadi element of surprise bagi Nala sore ini.

"Arya? Kok lo di sini?" Ketara sekali Nala tidak menyangka kehadiran Arya di depan kantornya. Sementara Rissa yang berdiri di sebelahnya sudah senyum-senyum penuh arti sejak tadi.

JEDA - The Spaces BetweenWhere stories live. Discover now