Sesekali, Hendra mengangkat tangan memberi catatan singkat. "Bagian ini jangan terlalu cepat, biarkan emosinya kebentuk dulu." "Di sini kamu tahan sedikit nadanya, supaya terasa makin menekan." "Atmosfer adegan kedua masih terlalu terang, nanti kita bahas blocking yah."
Shea mencatat semuanya di margin naskah, monerehkan tanda panah, simbol kecil, dan beberapa kata kunci yang hanya ia sendiri yang paham artinya.
Kurang lebih empat puluh menit berlalu hingga pembacaan naskah mencapai titik yang Hendra inginkan untuk sesi pertama. Sutradara itu kemudian menutup naskahnya dan menyandarkan punggung ke kursi.
"Untuk hari ini kita cukupi sampai di sini," ujar Hendra. "Kalian udah dapet gambaran awalnya. Besok kita mulai pendalaman karakter, lebih teknis dan detail. Terima kasih semuanya."
Ruang itu langsung dipenuhi tepuk tangan kecil. Beberapa kru saling angguk kemudian semua orang mulai mengemasi barang mereka. Hendra bangkit dari kursinya, menyalami Putra terlebih dulu sambil memberi sedikit anggukan puas. Putra menjawab dengan anggukan sopan. Shea yang berdiri di sebelah juga menerima jabat tangan hangat dari sang sutradara—cukup untuk membuat hatinya merasa yakin.
Setelah itu Hendra keluar ruangan, diikuti para kepala departemen yang harus lanjut meeting internal. Satu per satu kru menyusul pergi, membawa naskah, laptop, dan catatan masing-masing.
Shea dan Putra keluar bersama sembari membahas hal-hal ringan tentang film mereka. Putra mengomentari dinamika awal karakter mereka, Shea menimpali dengan observasi kecil yang ia temukan saat membaca. Putra setuju, lalu menambahkan beberapa insight soal adegan tengah yang menurutnya akan jadi tantangan besar. Shea mendengarkan dengan antusias, merasa inilah kenapa ia suka bekerja dengan Putra.
Shea menekan tombol lift, dan pintu logam itu terbuka. Mereka masuk, hanya bertiga bersama asisten Putra, Rehan, yang sibuk melihat sesuatu di iPad-nya.
Begitu pintu lift tertutup dan angka lantai mulai menurun satu per satu, Putra menoleh sedikit ke arah Shea.
"By the way," kata Putra jeda sejenak, "tanggal 27 besok kamu free nggak? Aku mau ajak kamu dinner sekalian latihan buat adegan yang agak berat itu."
Shea sempat menahan napas sekejap. Pagi tadi Rina sudah mengingatkan berkali-kali bahwa film kali ini butuh chemistry yang meledak, bukan sekadar cocok atau nyaman, dan Putra adalah lawan main ideal untuk itu. Jadi tanpa berpikir panjang, Shea mengangguk cepat.
"Kayaknya aku bisa kosongin jadwal. Aku nggak inget ada kegiatan penting tanggal segitu," ujar Shea, meski otaknya tau jadwal minggu depan sebenarnya cukup padat walau hanya jadwal kecil-kecilan. Tapi demi film Hendra, demi performa terbaik, ia akan mengusahakannya.
Lift berdenting halus ketika mencapai basement. Pintu terbuka dan mereka keluar dengan Shea dan Putra yang berjalan beriringan sedangkan Rehan berjalan ke arah mobil Putra.
"Kita makan di resto Jepang sebelah GI, gimana? Mereka punya private room, jadi kita bisa latihan lebih bebas," tambah Putra. "Mau di jam berapa biar aku jemput kamu."
"Jam tujuh aja. Tapi ketemu di tempat aja ya, Mas. Nggak usah jemput, ngerepotin Mas nanti."
Putra mengangguk tidak mempermasalahkan.
Dewa sudah menunggu bersandar pada mobil sejak dua menit lalu, juga mesin mobil sudah dinyalakan. Setelah ini ia harus mengantar dan menunggui Shea pemotretan di kawasan Tangerang. Tidak tau pasti akan sampai jam berapa, yang jelas itu menjadi jadwal terakhir untuk hari ini.
Putra memperlambat langkah ketika melihat sosok yang tidak dikenalnya itu. Tatapannya mengikuti Dewa dari atas ke bawah–bukan merendahkan melainkan lebih seperti menganalisis. Sedikit heran sebab yang ia tau, sopir Shea tidak berusia semuda ini dan ia belum pernah melihatnya sama sekali dimana pun.
Shea buru-buru menyadarinya. "Oh iya," katanya ramah sambil menoleh ke arah Putra dulu sebelum pada Dewa. "Kenalin, Mas. Ini sopir baruku."
Dewa langsung menunduk sedikit dan tersenyum kikuk karena yang berdiri di hadapannya sekarang adalah Putra Admojo, aktor favorit ibunya, favorit keluarganya, bahkan juga favorit Mpok Nori yang memajang posternya di dinding warung.
"Sore, Mas," sapa Dewa sopan.
Putra membalas dengan senyum tipis. Bukan sombong, namun karakternya memang seperti itu, tidak berlebihan.
"Semangat buat pemotretannya nanti," kata Putra sambil menatap Shea kembali. "Jangan lupa makan yang enak."
"Makasih, Mas. Mas juga hati-hati di jalan yah..." balas Shea tersenyum ceria.
Dewa hendak segera bergerak guna membukakan pintu belakang untuk Shea—yang dimana memang itu tugasnya. Tetapi baru sempat ia melayangkan setengah lengannya, Putra sudah lebih dulu meraih gagang pintu dan membukakannya tanpa memedulikan Dewa sebagai seorang sopir.
Shea masuk ke dalam mobil dan langsung duduk manis membuka naskahnya lagi. Putra menutup pintu perlaham lalu menatap Dewa lagi—tatapan yang sulit dibaca apakah itu sekadar sopan atau ada sesuatu yang tersisa dari rasa heran sebelumnya.
Dewa kemudian berkata pelan, "Mari, Mas."
Putra hanya mengangguk lalu berjalan menuju mobilnya sendiri.
Dewa lantas masuk ke kursi pengemudi dan mulai melajukan mobil. Perjalanan hanya diisi musik ringan dan suara kendaraan lain dari luar. Di kepala Dewa dari tadi berputar pada satu hal ; Putra—besok atau kapan pun, ia harus minta tanda tangan, foto, atau kalau bisa video salam singkat untuk ibunya yang tergila-gila dengan aktor tersebut.
Sedangkan di mobil lain, Putra duduk di kursi tengah dengan wajah yang sulit diterjemahkan.
"Han," panggil Putra pada Rehan yang duduk di sebelahnya. "Lo tau soal Shea punya sopir baru?"
Rehan mengangguk kecil. "Tau dikit. Kemarin Rina sempet bilang gitu. Emangnya kenapa?" tanyanya tanpa mengalihkan pandang dari layar iPad di tangannya.
Putra hanya menggeleng pelan. "Nggak, bukan apa-apa," ucapnya walau jelas ekspresinya menunjukkan sesuatu—sesuatu yang bahkan ia sendiri belum tau namanya.
Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.