Bab. 14 Kembang Api di Pasar Malam

10 8 1
                                        

~ Happy Reading ~




Rian bisa merasakan sisa-sisa kegelisahan dalam suara Aluna, meskipun sahabatnya itu berusaha menutupinya dengan tawa. Pertemuannya yang tak sengaja dengan Bintang jelas meninggalkan jejak. Rian tahu, ia tidak bisa menghapus masa lalu Aluna, tapi ia bertekad untuk menciptakan masa kini yang begitu indah hingga masa lalu itu tak punya ruang lagi untuk bernaung.

Maka, keesokan malamnya, alih-alih kencan biasa, Rian menjemput Aluna dengan sebuah ajakan misterius. "Nggak usah tanya mau ke mana," katanya sambil tersenyum. "Cukup percaya sama aku."

Motor mereka berhenti di sebuah lapangan luas yang telah disulap menjadi dunia penuh warna dan cahaya. Sebuah pasar malam. Suara musik dangdut yang riuh dari pengeras suara, aroma arumanis dan jagung bakar yang menguar di udara, serta kerlap-kerlip lampu dari kincir ria raksasa—atau Bianglala—langsung menyambut mereka. Wajah Aluna yang semula sedikit muram, kini berbinar seperti anak kecil.

"Pasar malam?" pekiknya senang.
Katanya, cara terbaik melawan kenangan buruk adalah dengan menciptakan kenangan baru yang lebih berisik," jawab Rian sambil menyerahkan sebuah helm pada Aluna dan menggandeng tangannya.

Malam itu, mereka menjelajahi setiap sudut pasar malam. Rian dengan semangat membara mencoba memenangkan boneka beruang besar untuk Aluna di stan lempar gelang, namun usahanya gagal total, hanya mengundang tawa geli dari Aluna. Justru Aluna, dengan satu tembakan iseng di stan tembak balon, berhasil mendapatkan gantungan kunci berbentuk lumba-lumba kecil yang aneh. Mereka memakannya bersama-sama, saling menyuapi, tidak peduli dengan orang-orang yang lalu lalang.

Puncak dari kencan mereka adalah menaiki Bianglala. Keranjang kecil mereka perlahan terangkat, meninggalkan hiruk pikuk pasar malam di bawah. Semakin tinggi mereka naik, suara bising itu perlahan mereda, digantikan oleh desau angin malam. Dari puncak tertinggi, hamparan lampu kota Jakarta terlihat seperti taburan permata di atas kain beludru hitam.

Di dalam keheningan yang nyaman itu, Rian menatap Aluna dengan lembut.
"Gimana? Gema yang kemarin, sudah sedikit tertimpa sama yang baru belum?" tanyanya pelan.

Aluna menoleh, matanya memantulkan cahaya lampu kota. Ia tersenyum tulus. "Lebih dari tertimpa, Yan. Ini jauh lebih nyata dan jauh lebih indah."

"Bagus," kata Rian. Ia meraih tangan Aluna, menggenggamnya erat. "Karena aku mau, masa depan kita isinya cuma hal-hal seru dan nyata kayak gini. Nggak ada lagi ruang untuk bayangan-bayangan aneh." Ia berhenti sejenak, tatapannya semakin dalam. "Dunia orang lain mungkin terlihat berkilau dari jauh, Lun. Tapi duniaku itu cuma kamu. Dan buatku, itu satu-satunya kilau yang aku butuhkan."

Hati Aluna meleleh mendengarnya. Kata-kata Rian adalah balsam paling mujarab untuk sisa-sisa lukanya.

Tepat saat keranjang mereka berada di titik tertinggi, sebuah suara ledakan keras mengejutkan mereka. Bukan suara yang menakutkan, melainkan suara yang meriah. Di kejauhan, langit malam yang gelap tiba-tiba pecah oleh semburat warna-warni kembang api. Merah, hijau, emas, meledak satu per satu, melukis angkasa dengan keindahan sesaat yang magis. Mereka tidak tahu ada perayaan apa, tapi momen itu terasa seperti dirancang khusus hanya untuk mereka.

Di bawah cahaya kembang api yang menari-nari, Rian mendekatkan wajahnya dan mengecup kening Aluna dengan lembut. Sebuah kecupan yang hangat, yang penuh dengan janji dan kepastian. Aluna memejamkan matanya, merasakan momen itu meresap ke dalam jiwanya. Malam itu, di puncak tertinggi Bianglala, diiringi orkestra kembang api, semua gema dari masa lalu akhirnya benar-benar lenyap, digantikan oleh sebuah melodi baru yang begitu kuat dan begitu indah.

Jangan pernah bosen sama cerita ini ya gaess•


~To Be Continued~
Thanks for Reading luv🫶🏻🌷

•••Gema Waktu Yang Terpatah••••Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu