Diary Hari Keduapuluhempat + Komentar Minggu Keempat

7.3K 571 13
                                    

Hari Keduapuluhempat 

Aku Ajeng Kirana. 

Mungkin kalian berpikir ‘ih dia tidak tahu malu ya… padahal punya skandal tapi tetap menggosipkan orang lain’. 

Huh. Aku orang yang tangguh. Toh setiap orang punya rahasia yang suatu saat akan terbongkar juga. Sedalam apapun kalian menguburnya. 

Maka dengan bangga kuproklamirkan akulah yang akan membongkar rahasia kalian satu persatu. Berhati-hatilah! 

Reaksi kalian berlebihan dalam menerima fakta si nomor 25 tersingkir dari kelas untuk beberapa hari. 

Gio membawa dua kardus kue. Andy terseok-seok mengangkat peti-peti jus kaleng (sendirian!). Cherry dan Ling menempelkan hiasan, pita dan sebagainya di sana sini. Diana merangkai bunga di vas-vas yang baru saja dibeli Baddy. Yup, kita merencanakan pesta. 

“Kita merayakan apa?” Itu pertanyaan paling bodoh yang keluar dari mulut Aurora. 

Apa dia tidak menyadari keceriaan seluruh penghuni kelas? Halooo… walau kelompokmu menentang ide balas dendam kami bukan berarti kalian harus mati-matian mengingkari kalian turut menikmati suasana kelas yang sekarang kan? 

Bu Collins menunjukkan tampang kaget yang imut melihat chemistry kelas yang cerah meriah. “Ada yang ulang tahun ya?” 

Semua tertawa. 

“Ada hal menyenangkan yang baru kalian alami rupanya. Sejak kemarin senyum terus menghiasi wajah kalian. Apa ibu boleh tahu penyebabnya?” 

Semua tertawa dengan nada beragam. 

“Apapun itu, ibu ikut senang dengan perubahan baik ini.” 

Coba. 

Bu Collins saja mendukung. Beliau tahu ada sesuatu yang berubah di kelas kita. Ada seseorang yang menghilang dan memang tidak seharusnya berada di kelas ini. Si nomor 25. Sejak awal gadis itulah yang mengundang alias membuat kesialan-kesialan yang kita alami. 

Atau ada alasan lainkah…? 

Kalian pernah menduga-duga sesuatu? 

Hal yang akan kuceritakan berikut ini anggaplah intermeso biasa. Informasi yang bahkan bagiku si expert dalam bidang gosip ini pun terdengar bagai kebohongan mengada-ada. 

Kalian penasaran? 

Hu… hu… hu… 

Penyelidikan yang kulakukan sampai hari ini menghasilkan beberapa berita atau gosip atau bagaimanapun cara kalian menyebutnya. 

Munculnya niatku jadi penyelidik (bukan detektif seperti Omega) berpangkal dari kelakuan sinting anak-anak kelas lain yang memperlakukan kita layaknya penderita kusta. 

Dipandang aneh, dihindari, kadang ditakuti. Semua mendapat perlakuan yang serupa kan? 

Petunjuk pertama yang kudapat adalah sebuah kata kunci. Perlu sedikit perjuangan untuk mendapatkannya. 

Kalian masih ingat aku dan Cherry pernah bersembunyi di ruang ganti cowok? Itu loh, hari dimana Freya kecelakaan. Kami bukannya kecentilan sehingga ngumpet di sana. Alasannya karena cowok-cowok di kolam renang memergoki kami. Kejar-kejaran pun terjadi. Aku dan Cherry berhasil menyelinap ke ruang ganti mereka. Bersembunyi di sana. 

Lalu salah seorang di antara para pengejar kami berkata begini, “Kita hentikan saja mencari mereka. Aku sempat melihat wajah cewek-cewek itu. Keduanya anak dari ‘kelas terkutuk’.” Teman-temannya semua memekik ketakutan. Lalu mereka berhenti mencari kami. Atau kabur? 

Apa-apaan mereka!? 

Cherry bilang mereka hanya bercanda. Ya aku sih tidak menyalahkan dia. Otaknya memang pas-pasan kan? Dia juga tidak punya intuisi hebat sepertiku yang mahir mengendus gosip-gosip spektakuler. 

Aku kemudian mulai mencari berbagai informasi tentang ‘kelas terkutuk’ yang mereka perbincangkan. Anak-anak kelas lain itu serius saat mengatakannya. Mereka jelas punya alasan tertentu sehingga menyebut kita begitu. Alasan yang harus kucari tahu! 

Dan coba tebak! Aku tidak menemukan apapun. Tidak ada catatan sedikitpun mengenai ‘kelas terkutuk’ itu. Padahal aku dibantu si kutu buku Sarah sudah mengubek-ubek perpustakaan. Mengharap mendapat secuil data. 

Ujung-ujungnya aku kesal dan menyerah mencarinya. 

Betapa senangnya aku ketika kemarin Micah menemukan sebuah album foto di laci mejanya yang selama ini macet tidak bisa dibuka. 

Laci itu diperbaiki oleh Imban sebagai balasan untuk Micah yang membantunya menyusun tugas kliping Biologi. Rupanya Imban si mata belo itu berbakat juga jadi tukang. 

Micah membuang album tersebut ke tempat sampah. Aku bergegas memungutnya. 

Barang penting kok dibuang. 

Album foto itu memuat foto-foto anak-anak yang pernah mendiami kelas kita dimulai dari angkatan 2003. 

Hanya ada enam halaman disana. Setiap angkatan mendapat jatah satu halaman. Halaman terakhir masih kosong. Di bagian atas halaman kosong itu tertera tulisan ‘Angkatan 2008’. Angkatan kita. 

Berarti angkatan 2007 sekarang sudah kelas 2 dan angkatan 2006 naik ke kelas 3. 

Aku menelusuri wajah-wajah mereka. Lucu, ternyata setiap angkatan juga hanya diisi 25 siswa seperti angkatan kita. 

Di bawah setiap foto ada nama dan tanggal lahir mereka. Wajah-wajah itu tersenyum janggal. Seakan dipaksa tersenyum saat difoto. 

Kuambil satu nama dari angkatan 2007. Mark Havier Benjamin. Cowok yang tampan. Aku membayangkan wajahnya yang sekarang. Memutar memoriku mencari-cari wajahnya di kumpulan cowok-cowok tampan di kelas 2. Dan… 

Tidak ada yang mirip. Malah aku yakin tak ada anak kelas 2 bernama ‘Mark’. Tidak mungkin keliru. Wajah setampan itu mustahil luput dari pandanganku. 

Kuambil nama yang lain. Bob Abing. Cowok ceking dengan kacamata bergagang tanduk. Lagi-lagi… Bisa kupastikan tak ada pula anak kelas 2 dengan ciri-ciri yang baru kutulis tadi. 

Aku tambah penasaran. Kuamati setiap foto. Mataku lalu tertarik pada sebuah nama. Trisha Ellen. Cewek berambut ikal panjang. 

Aku pernah melihat nama itu di suatu tempat. 

Tapi dimana? 

Penelitiankupun berlanjut. 

Usai sekolah aku mendekam di ruang kerja ayahku. 

Bagi yang belum tahu, ayahku adalah pemimpin perusahaan sebuah koran harian di kota kita. Ruang kerjanya berupa perpustakaan tiga lantai yang koleksinya super lengkap dari puluhan ribu buku, koran, majalah, CD dan kaset. Komputernya juga menampung data berita puluhan tahun dari seluruh dunia. 

Berlebihan? Datanglah ke rumahku jika ingin membuktikannya. 

Kali ini aku memilih memakai komputer ayahku. Komputer itu dilengkapi search engine paling akurat dan canggih yang terkoneksi dengan internet. Kita tinggal mengetikkan suatu kata selanjutnya voila semua berita yang berhubungan dengan kata itu akan bermunculan. 

Trisha Ellen. 

Kuketik nama itu. Kuklik icon search. Lebih dari seribu file muncul. Masih terlalu banyak. Di kotak kedua yang berfungsi sebagai kotak kata pembatas kuketik nama sekolah kita. Komputer menghilangkan semua berita yang tidak berkaitan dengan nama sekolah. Ada 6 berita yang tertinggal. 

Keenam berita tersebut membahas kejadian yang sama. ‘Trisha Ellen, putri seorang gubernur, tewas bersama ke 24 teman sekelasnya karena bus yang mereka tumpangi jatuh ke jurang’. Kejadian itu bahkan baru terjadi delapan bulan yang lalu. Pantas saja aku masih sedikit mengingatnya. 

Iseng-iseng di kotak search utama kuketik kata ‘kelas terkutuk’. Kotak kedua tetap berisi nama sekolah kita. 

Sebuah file muncul. 

Aku terperangah, aku kan cuma main-main pikirku. 

File itu bersumber dari buletin yang diedarkan terbatas di sekolah kita. Kenapa kita tak pernah memperolehnya? 

Isi beritanya adalah sebagai berikut. 

Kelas Terkutuk Memakan Korban Lagi! 

Kelas itu benar-benar sial. Anak-anak yang menghuninya juga dibayangi kesialan. Masih segar dalam ingatan kita kecelakaan-kecelakan mengerikan yang menimpa seluruh angkatan ‘kelas terkutuk’. Tahun 2003, angkatan pertama ‘kelas terkutuk’ yaitu kelas percobaan yang siswa-siswanya adalah anak-anak hebat, diciptakan. Kelas ini memiliki jadwal yang berbeda dari kelas biasa. Sewaktu kelas lain sibuk ulangan semester mereka malah melakukan pendakian ke sebuah gunung. Pendakian itu tidak berlangsung lama. Keduapuluhlima anak dinyatakan hilang dan jasad mereka tidak ditemukan sampai sekarang. Tahun berikutnya, 2004, kelas percobaan dibentuk kembali. Seakan mengulang kesialan yang sama siswa-siswa angkatan ini bertamasya ke danau. Kalian tahu apa yang terjadi? Mereka semua tenggelam di sana. Puluhan tubuh mengapung di tengah-tengah danau. Tidak diketahui penyebabnya. Berlanjut ke tahun 2005, dua kejadian rasanya sudah lebih dari cukup. Isu ‘kelas terkutuk’ mulai berhembus pada tahun ini. Angkatan 2005 menjemput ajal mereka di kamar hotel masing-masing dalam rangkaian acara konferensi. Menurut catatan kepolisian mereka keracunan gas karbondioksida saat tidur. Di tahun 2006 (penulis masih kelas 1 masa itu), pihak sekolah kita membantah isu itu dan melarang semua siswa membahasnya. Siswa yang ketahuan melanggar diberi sanksi dikeluarkan dari sekolah. Sayang meskipun mulut kita dibredel, sabit dewa kematian tetap mengayun di kelas tersebut. Kerusuhan meledak di depan gedung parlemen, berita besar yang disiarkan live melalui semua TV lokal. Yang mengejutkan, siswa-siswa kelas percobaan 2006 terlihat terjebak di tengah kerumunan massa. Didorong-dorong, terinjak-injak, dipukuli, dan akhirnya meninggal di sana. Bukan pemandangan yang enak dilihat. Bagaimana mereka bisa terlibat dikekisruhan tersebut? Kita beralih ke tahun 2007. Entah siapa yang memulai kita menjadi sangat antipati pada siswa-siswa ‘kelas terkutuk’. Beredar kabar pula barangsiapa yang berada dalam jangkauan 1 meter dari siswa-siswa tersebut akan tertular kesialannya. Penulis agak menyayangkan hal ini. Sebab kebanyakan siswa angkatan 2007 di kelas itu adalah anak yang ramah. Namun kemalanganlah yang menunggu mereka. Usai mengunjungi perkebunan teh, bus yang mereka tumpangi jatuh ke jurang. Semuanya tewas seketika. Lalu apakah nasib tragis akan menimpa angkatan 2008 pula? Kita lihat saja nanti. 

P.S : Ingat buletin ini jangan sampai diketahui pihak sekolah apalagi sampai beredar di luar.
 

Peringatan konyol. Nyatanya toh buletin itu beredar di internet. 

Sudah membacanya kan? Terserah kalian menafsirkannya bagaimana. 

Kalau aku, terlepas apakah aku percaya atau tidak dengan berita tadi, aku sangat bersemangat untuk menggalinya lebih dalam. 

Ngomong-ngomong mengenai kutuk mengutuk, ada salah satu teman kita yang melakukan perbuatan terkutuk pada si nomor 25. 

Yang mendapat giliran mengantarkan makan siang hari ini untuk si nomor 25 adalah aku, Micah dan Haya. 

Kami turun ke ruang penyimpanan pukul satu siang. 

Haya duluan turun sambil menjinjing plastik berisi makanan. 

Micah sedang berancang-ancang turun ketika Haya berteriak tegang, “Micah… kau tidak perlu turun. Kau juga Ajeng!” 

Aku dan Micah bertanya bersamaan, “Kenapa?” 

“Ini buruk. Kalian jangan sampai melihatnya.” 

Haya bodoh. Bermain rahasia-rahasiaan malah akan memancing rasa ingin tahuku. 

“Aku turun,” putusku. 

“Aku juga turun,” kata Micah. Anak itu ketakutan. Rasa tanggung jawabnya pada Frans-lah yang membuatnya bertahan. Frans meminta Micah melaporkan keadaan si nomor 25. 

Lumayan sulit juga berpegangan di tangga tali. Tali itu bergoyang ke sana kemari membuatku makin susah untuk turun. 

Ruangan itu baunya apek. Aku bergidik membayangkan bila seandainya aku yang dikurung di situ. Terutama pas malam hari. Hiii… 

Si nomor 25 tergeletak, diam. 

Apa dia tidur? 

Aku memicingkan mata. Pakaian yang dikenakan si nomor 25 berantakan sekali. Di beberapa bagian sobek. Wajahnya lebam. 

Micah lalu melihat tanda itu. 

“Ada… bercak darah di sekujur tubuhnya.” Micah membekap mulutnya. 

Astaga. Tidak salah lagi. Ada yang memukuli gadis itu. 

Siapapun yang menemui keadaan seperti itu pasti akan luar biasa terpukul. 

Kami (aku dan Haya) sepakat merahasiakan peristiwa ini, Micah agak berat hati harus menutup mulut. 

Tampaknya pemukulan itu terjadi sesudah anak-anak yang mengantar sarapan yaitu Silvia, Gio dan Baddy pergi. Sehingga mereka tak melihat kondisi mengenaskan si nomor 25. Soalnya mereka tenang-tenang saja. Gio dan Baddy bisa bungkam. Namun Silvia, mustahil. 

Di luar dugaan, yang terlihat kacau, panik, dan banjir keringat malah si Radith. Dia membentak Gio tanpa sebab. Menjatuhkan ballpointnya berkali-kali. Dengan gelisah mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, membuat Zeany meliriknya dengan kesal. 

Ada yang dia takutkan. Dia sembunyikan. 

Aku jadi curiga. 

Pesta di akhir hari berlangsung meriah. Enam meja disusun di tengah kelas. Diatasnya disajikan kue-kue. Kaleng-kaleng jus kosong menumpuk di kotak sampah. Cepat sekali habisnya. 

Aksi Carada sukses mengocok perut semua anak. Dia menarik-narik bagian wajahnya sementara yang lain berusaha menebak dia menirukan wajah binatang apa. 

Micah menarik diri. Jus kalengnya masih penuh. Dia juga tidak ikut tertawa bersama kita. Sesekali dia mencuri pandang ke arah Frans. 

Aku rasa sebentar lagi dia bakal meledak. 

“Frans… ada yang harus kulaporkan!” 

Tuh kan. Kataku juga apa. 

Frans berhenti tertawa. Bukan cuma Frans, kalian semua juga bertanya-tanya kan? 

Micah menarik nafas panjang. Menghembuskannya perlahan sembari mengumpulkan keberanian. “Si nomor 25… dia…” 

Cerita Micah mengalir tanpa ditahan-tahan lagi. Walau caranya meramu cerita datar. Seharusnya dia menambahkan bumbu-bumbu biar terdengar makin menarik. 

Wajah Frans beralih dari pucat menjadi merah padam. “Apa benar begitu, Ajeng?” 

Semua mata mengarah padaku. Meminta penjelasan. Wajah kaget kalian benar-benar menarik. “Mmm… aku melihat… bercak darah di tubuhnya, memang. Tapi kan belum tentu dia dipukuli. Siapa tahu itu keringat.” 

Frans membanting kaleng jusnya. “Jangan mengada-ada! Kau kira sebodoh apa kami sampai tidak tahu bagaimana cara membedakan darah dengan keringat?!” 

Sialan si Frans. Apa untungnya membentakku di hadapan kalian. Mau sok jadi pahlawan lagi ya!? 

“Cukup! Aku akan lapor polisi!” 

Radith menghalangi langkah Frans. “Berhenti… Tak ada siapapun yang akan berurusan dengan Pihak Berwajib. Semuanya harus menganggap tak pernah terjadi apa-apa! Camkan ini Frans! Gue tahu rahasia lue… Jadi kalau polisi sampai terlibat dalam urusan ini maka gue nggak menjamin rahasia lue bakal terus terjaga. Mulut ini dengan senang hati bakal berkicau juga Frans.” 

Frans tidak berkutik. 

Bravo Radith. Rahasia Frans apa yang dipegangnya? 

“Peringatan tadi juga berlaku untuk semua orang,” ancam Radith. “Tutup mulut kalian rapat-rapat! Atau kalian harus menyesal seumur hidup!” 

Hooo… 

Aku jadi makin curiga dengan gelagat Radith. 

Seseorang menyentuh pundakku. Andy. Mau apa dia? 

“Ra-ramalan…” Andy menjilat bibirnya. “Ka-kau i-ingat ka-kan?” 

Mana mungkin aku lupa. Ramalan ketiga Jhan terwujud di hari bersejarah ini. 

“Apa ya isi ramalannya?” tanyaku pura-pura lupa. 

“Da-darah yang me-mengalir a-adalah da-darah pelaku.” 

(Ajeng Kirana) 


Komentar minggu keempat 

Diana : - 

Sarah : - 

Ling : aku tidak bisa membedakan lagi siapa yang benar dan siapa yang salah 

Aurora : - 

Haya : kita yang benar! 

Imban : si nomor 25 pantas mendapatkannya kok… 

Silvia : - 

Cherry : - 

Frans : - 

Baddy : - 

Meryl : - 

Zeany : kalian itu sampah! 

Carada : - 

Jhan : - 

Freya : - 

Omega : berkacalah Zeany, siapa yang kau sebut sebagai sampah… 

Ken : kurang kerjaan, itu saja diributkan 

Giovani : - 

Rudy : - 

Andy : - 

Gina : - 

Ajeng : ah… hidup itu indah ya… 

Micah : - 

Radith : gue cuma minta satu hal, tutup mulut kalian! apa sebegitu beratnya… 

25th (Oleh : Hein L. Kreuzz)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang