Diary Hari Keduapuluhtiga

7K 571 34
                                    

Hari Keduapuluhtiga 

Pukul 04.30 

Aksi balas dendam dimulai… 

Aku berangkat ke sekolah di pagi buta penuh semangat. Hari masih gelap, sebab matahari belum menampakkan diri. Udara dingin menyergapku. Namun semuanya tak terasa karena gelora di dalam hatiku mengalahkan segalanya. 

Semua anak memakai baju bebas dan membawa ransel yang menggembung. Seakan–akan bersiap kemping. Tapi itu sekedar kedok. Isi tas kita paling seragam sekolah dan beberapa buku. Agar terlihat penuh kita menjejalkan busa ke dalamnya. 

“Dia sudah mendapat surat itu kan?” tanya Baddy memastikan pada Haya. 

“Tentu saja! Cobalah berhenti cemas. Aku melakukan segala sesuatunya sesuai rencana kok,” jawab Haya kesal. 

Kemarin Ken meminta Baddy membuat surat palsu. Surat yang berisi pemberitahuan dari sekolah bahwa kita akan mengadakan kemping di Puncak sampai hari senin. Sudah pasti semuanya hanya bohong belaka. 

Surat buatan Baddy meyakinkan sekali. Si nomor 25 yang diberi surat tadi oleh Haya tidak berkomentar apa-apa. Dia hanya bertanya. “Apa saja barang yang harus kubawa?” 

Huh. Berlagak. Padahal saat darmawisata saja dia hampir tidak membawa apa-apa. 

Pukul 05.10 

Segalanya telah siap. Kita tinggal menunggu kemunculan sang target. Beberapa anak terlihat gelisah, sementara kelompok ‘sok suci’-nya Frans berkumpul di satu tempat sambil memasang wajah ‘kita batalkan saja’ mereka. Radith membalas mereka dengan tatapan ‘jangan macam-macam!’. 

“Mana anak itu!?” Omega hilir mudik berjalan di depan pintu gedung. Dia dan Andy bertugas memberitahu kedatangan si nomor 25 pada yang lain. 

“Di-dia da-datang…” Andy megap-megap panik. Bergegas berlari ke arah kita. 

Si nomor 25 membuka gerbang sekolah. Tersenyum melihat kita. Senyum yang memuakkan. 

Cherry mencubit lengan Andy. “Bodoh. Bisa tenang sedikit nggak sih. Awas saja kalau rencana kita sampai gagal gara-gara kamu nggak bisa bersandiwara!” 

Kita serentak mengepung si nomor 25. Memblokir setiap jalan kalau dia berniat kabur. 

Gadis itu memandang kita satu per satu. Menjilat bibirnya. Gugup. 

Bagus! Dia takut pada kita! 

Ajeng menyenggol Haya. Memberi dia isyarat supaya segera melaksanakan bagian tugasnya. 

Haya pun maju mendekati si nomor 25. “Pak Benny meminta kita berkumpul dulu di belakang sekolah. Mungkin beliau ingin memberikan beberapa wejangan agar kempingnya berjalan lancar.” 

Si nomor 25 mengatakan, “Baik.” 

“Ayo!” Haya memimpin di depan dengan gagah. 

Haya memang keren ya… 

Kita berjalan sambil terus menjaga formasi yang sudah dibentuk. Menjajari setiap langkah si nomor 25. 

“Oke stop!” seru Radith sesampainya di tempat yang sudah disepakati. Tempat yang angkernya mirip kuburan itu. Suasana di situ malah jauh lebih gelap dibandingkan bagian lain di sekolah. 

Oh tidak, aku hampir meledak kesenangan. Sebentar lagi waktunya. 

Kita terdiam. Menunggu. 

Ken angkat bicara. Berkacak pinggang di hadapan si nomor 25. “Sudah lama kami benci padamu. Pada wajahmu. Pada suaramu. Pada cara jalanmu. Pada pemikiranmu. Dan pada setiap kelakuanmu. Kau pikir kami sebodoh apa jadi tidak dapat membongkar semua kejahatanmu. Dimulai dari—“ 

“Aku!” Freya memotong kata-kata Ken. “Apa kau tahu bagaimana hari-hari yang kujalani di rumah sakit!? Rasa sakit yang kutahan mati-matian. Apa kau bisa merasakannya!?” 

“Aku juga!” Suara Ajeng keras dan penuh amarah. “Tega sekali kau menyebarkan foto itu! Rasa malu yang kuterima akan kubalas padamu berkali-kali lipat!” 

Cherry mendapat giliran selanjutnya. “Cherry yakin kamu sengaja kan mancing Cherry dan yang lain ngikutin kamu. Kamu juga pasti sudah tahu ada truk yang bakal lewat. Makanya kamu ngebuat Cherry kaget di tengah jalan supaya Cherry mendapat kecelakaan kan!?” 

Si nomor 25 menggeleng berkali-kali. “A-aku tidak paham maksud kalian.” 

“Pembohong busuk!” maki Radith. 

“Kata-kata… kuingatkan kalian untuk menjaga kata-kata… tolong.” Frans hampir stress mengingatkan kita. 

“Masa bodoh!” tolak Radith. “Cewek ini hampir ngebunuh gue. Masa gue diem aja!” 

“Tak ada bukti dia pelakunya…” jawab Frans. 

“Gue dengan mata kepala sendiri ngeliat dia berkeliaran di dekat toilet. Mau bukti apa lagi!”

“Itu bukan bukti, itu baru—“ 

“Cukup! Dia pelakunya. Gue yakin itu!” 

Urat leher kedua anak itu menyembul di balik kulit. Ketegangan memuncak di antara mereka. 

“Aku juga yakin!” Imban tidak mau ketinggalan. “Yang meracuni susu saat darmawisata pasti juga dia!” 

“Juga kaca jendela yang pecah tiba-tiba!” kataku. Kaca yang melukai Haya. Malangnya Haya. 

“Bu-bukan aku…” sangkal si nomor 25. 

Menyebalkan. Mana mau dia mengaku. 

“Kalau ingin melakukan sesuatu, lakukan segera. Petugas kebersihan sekolah sebentar lagi datang,” tukas Ling khawatir. 

Ken menjentikkan jarinya. 

Itu isyarat. 

Baddy mengunci tangan kiri si nomor 25. Haya kebagian tangan kanan. Radith mengangkat kedua kaki si nomor 25. Dan Ken membekap mulut gadis itu dengan sapu tangan. 

Gadis tersebut meronta-ronta sementara keempat pemuda tadi menggotongnya ke dekat pintu tingkap ruang penyimpanan bawah tanah. 

Imban, Carada, Jhan, Gio, Rudy dan Micah bersiap di dalam ruang penyimpanan bawah tanah. Mengambil ancang-ancang di bawah. Mereka membentangkan karpet tebal. Mengangkatnya setinggi leher. 

“Kalian siap?” tanya Radith dari atas. 

“Ya,” jawab Carada mewakili yang lain. 

Tubuh si nomor 25 dilempar dari atas. Jatuh ke tengah-tengah karpet. Micah dan Imban sempoyongan menahan sudut karpetnya. Karpet perlahan diturunkan. Si nomor 25 melompat menjauhi mereka. 

“Kalian mau apa?” rintihnya. 

Carada ingin mengatakan sesuatu. Tapi diurungkannya. 

“Kita naik?” tanya Micah. Tidak tega melihat si nomor 25. 

Semuanya naik meninggalkan si nomor 25 sendirian. 

Radith menggulung tali yang menjadi satu-satunya alat untuk turun naik ke dan dari ruang penyimpanan bawah tanah. Otomatis si nomor 25 terisolasi di sana. 

“Tolong… kembalikan talinya…” mohon si nomor 25. Air matanya mulai menetes. 

Radith tidak mempedulikannya. Mengambil sehelai papan tripleks. Menutup lubang ke ruang penyimpanan bawah tanah. Sayup-sayup terdengar teriakan si nomor 25. 

“Teriakan gadis mengerikan itu nyaring sekali, jangan-jangan nanti didengar seseorang yang lewat daerah ini.” 

“Tenanglah Baddy, suara yang keluar dari ruangan ini lebih menyerupai bunyi tiupan angin. Nggak bakal ada yang curiga. Satu lagi, mana ada orang waras yang berkeliaran sampai ke belakang sekolah.” Ken menertawakan kekhawatiran Baddy. 

Untunglah. Aku sempat khawatir juga sebenarnya. 

“Berapa hari kita mengurungnya di sini?” tanya Silvia. 

“Tiga hari. Senin pagi kita lepaskan,” kata Ken. 

“Apa tidak terlalu lama?” 

“Tidak. Menurutku malah terlalu sebentar.” 

“Kau tidak akan membiarkannya kelaparan di bawah sana kan?” 

“Pada mulanya aku berniat begitu. Dia pantas mendapatkannya. Tapi dewa kebajikan kita—“ Tangan Ken dilambaikannya pada Frans., “—maunya kita mengantarkan makanan secara bergiliran untuk gadis ini. Kalau tidak dituruti katanya dia bakal melaporkan kita ke polisi dengan tuduhan penyiksaan. Sungguh teman yang setia ya dia.” 

Frans belagu. Sok suci. 

Pukul 07.30 

“Selamat pagi anak-anak,” sapa Pak Benny. 

“Pagiii Paaakk…” balas kita lantang. 

Aku merasakan aura ketenangan mengambang di kelas kita. Absen-nya si nomor 25 tentu membawa kebaikan dan menghapus awan hitam yang menyesakkan. 

“Saya lihat ada satu orang yang tidak masuk hari ini.” Pak Benny menanyakan si nomor 25. 

“Dia sakit Pak.” Haya cepat-cepat menjawab. 

“Sakit? Apa ada surat ijinnya?” 

“Ada.” Haya menyerahkan sebuah surat pada Pak Benny. 

Surat kedua yang merupakan hasil rekayasa Baddy pula. 

Pak Benny membacanya sebentar. 

Kita menunggu. Agak sedikit tegang. 

“Baiklah anak-anak. Buka halaman 79,” pinta Pak Benny memulai pelajaran. Beliau termakan muslihat kita. 

Fiuh. 

Desahan lega memuai. 

Ini menyenangkan. 

Sekolah menyenangkan tanpa si nomor 25. 

(Gina Handayani) 

25th (Oleh : Hein L. Kreuzz)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang