Diary Hari Ketigabelas

7.8K 625 23
                                    

Hari Ketigabelas 

Freya masuk hari ini! 

Ada guru baru pengganti Pak Richard! 

Ups… aku Ling, tak sabar lagi pengen melaporkan keadaan kelas hari ini. 

Freya belum sembuh total. Dia memaksakan diri datang ke kelas memakai tongkat penyangga. Jalannya terpincang-pincang. Lalu yang paling heboh adalah benda di sekeliling lehernya (kalau tidak salah katanya itu gips). Sepertinya untuk menoleh saja dia memerlukan usaha yang keras. Terlalu cepat sebenarnya, dokter menyarankannya beristirahat dulu di rumah tapi kurasa Freya mempunyai pemikiran sendiri. Mencari tahu penyebab kecelakaannya misalnya? 

Taraaa… ini dia pengganti Pak Richard. Ada dua orang malah. Yang pertama cewek, namanya Bu Collins, cantik seperti Aurora, rambutnya indah seperti Diana, selera berpakaiannya elegan seperti Zeany, dan gaya bicaranya tenang tapi tegas seperti Silvia. 

Yang kedua cowok. Pak Benny namanya. Orangnya agak linglung. Kesan pertama yang kudapat dari beliau adalah ‘kuno’. Orang biasa. Tidak menarik. 

Keduanya mengajar bergantian. Meskipun jumlah mereka sangat jauh dari kata ‘cukup’. Semuanya mulai terlihat normal untukku. Jam pertama diisi Bu Collins. Di awal pelajaran beliau membagikan jadwal pelajaran. 

Jadwal pelajaran! Bayangkan! Hal remeh yang baru kita dapat setelah memasuki minggu ketiga. 

Kulirik jadwal itu. Biologi… Kimia… Fisika… Matematika… PKn… Satu hari berisi tiga sampai lima jenis bidang ilmu. Normal, jadwal yang standar. 

Pelajaran pertama adalah Geografi. Tiga jam pelajaran yang menyenangkan. Bu Collins tampaknya lebih tertarik mengenal pribadi kita masing-masing daripada mengajar. 

Entah karena mudah lupa nama seseorang atau bagaimana, beliau tidak pernah memanggil kita dengan nama masing-masing, selalu menggunakan kata ‘kau’ atau ‘kamu’. 

Istirahat pertama, aku, Aurora dan Sarah berhasil mendepak Omega dari hadapan Freya. Freya bersyukur sekali karenanya, sebab Omega sejak pagi memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kecelakaan yang dialaminya. 

Aurora mengajak kami ke kantin. “Kau ingin paket makanan nomor berapa?” tanya Aurora padaku. 

“Nomor empat yang ada telur dadarnya itu,” tunjukku. Pertanyaan itu kuteruskan pada Freya, “Kalau kamu Freya?” 

Freya menelusuri daftar menu di meja kasir. “Nomor tiga tanpa mentimun,” pilihnya. “Sarah milih yang mana?” lanjut Freya. 

“Tergantung,” jawab Sarah dengan pandangan kosong. 

Freya melongo. 

Yah aku tak menyalahkan Freya sih kalau sampai kebingungan begitu. Siapapun yang mengajak Sarah bicara pasti akan stress gara-gara hanya dijawab dengan 5 jenis kata. Perlu trik khusus untuk bicara dengannya. Sampai saat ini Aurora dan Frans saja yang memiliki kemampuan itu. 

Aurora mengambil alih usaha Freya, “Sarah, dari delapan pilihan menu, apa menu yang kau inginkan berada di nomor 5 sampai 8?” 

“Ya.” 

“Apa nomor ganjil?” 

“Tidak.” 

“Berarti genap. Apa nomor delapan?” 

“Tidak.” 

“Berarti nomor enam,” Aurora tersenyum. 

Freya menyatakan kekagumannya mengikuti percakapan tadi. “Kalau aku ya…” kata Freya. “Paling bakal menanyakannya satu-satu seperti ‘Apa kau mau menu nomor 1?’, kalau jawaban Sarah ‘Tidak’ maka kulanjutkan ‘Apa kau mau menu nomor 2?’, kalau jawabannya masih ‘Tidak’ maka terus berlanjut ke nomor berikutnya sampai menemukan jawaban ‘Ya’.” 

Berarti kalau Sarah pengen menu nomor 8, Freya harus melontarkan pertanyaan minimal 7 kali ke dia. Capeeekkk… 

Kami duduk di salah satu meja yang berada dekat jendela. Sarah membawakan nampan Freya. Murid-murid kelas lain di sekitar meja kami serentak tergesa-gesa menghabiskan makanan mereka dan mulai menyingkir satu persatu sampai tak ada orang lain di sekitar kami. 

“Sampai kapan pun aku tidak bisa membiasakan diri memperoleh perlakuan seperti ini,” komentar Aurora mengiringi kepergian mereka. 

“Sama,” sahutku. 

“Akur,” kata Freya. 

“Benarkah?” tutup Sarah. 

Aku, Aurora dan Freya saling melempar pandangan. Jawaban Sarah kadang tidak nyambung. Membuat kening orang yang mendengarnya jadi mengkerut. 

“Omega gigih sekali ya,” selorohku, berusaha mengganti topik pembicaraan. 

Freya berdecak marah, “Sepagian ini kepalaku pusing gara-gara dia. Dia terus menerus bertanya tentang pelaku kecelakaan itu.” 

Pelaku? 

“Loh bukannya dia sudah tahu siapa pelakunya?” tanyaku. 

“Belum.” Freya menggeleng. “Seandainya Omega tahu pelakunya, dia pasti tak akan memaksaku mengingat semua hal yang terjadi di hari itu.” 

Astaga, selama ini Omega berbohong dong!? 

“Padahal dia dengan yakinnya menulis di diary kelas bahwa dia tahu siapa pelakunya,” cetus Aurora. 

Aku mengiyakan. “Ditambah lagi dia menuduh lima orang sebagai tersangka.” 

Freya terlihat tertarik. “Masa?” ujarnya setengah tidak percaya. 

“Hari ini giliranku untuk mengisinya,” kataku. Kukeluarkan buku diary ini. Membukanya pada halaman berisi tulisan Omega. “Baca saja sendiri.” 

Freya menerimanya dan membaca perlahan. Sekitar lima menit kemudian dikembalikannya diary ini. 

“Apa isinya benar?” tanya Aurora. 

“Entahlah…” jawab Freya tidak yakin. “Terus terang aku sama sekali tidak ingat kejadiannya. Lagipula ada banyak hal yang janggal dalam tulisan Omega.” 

Aurora tersenyum. “Kau juga menyadarinya?” 

Janggal? Dimananya? 

Aurora menangkap gelagatku. ”Coba hitung jumlah tersangka yang dirincinya di sana. Dia bilang seluruh kelompok kita punya alibi. Banyaknya orang dalam kelompok kita adalah 8 orang. Freya adalah korban berarti ada 7 orang tersangka di kelompok kita. Dari 24 tersangka dikurangi 7 orang seharusnya tersisa 17 orang bukan 16 seperti yang ditulisnya.”

Secepat kilat kubuka lagi buku diary kita. Benar sekali. Omega menulis ‘tersisa 16 tersangka’. 

“Lalu… ada satu orang yang terlewatkan olehnya,” papar Aurora. “Orang yang berusaha kita anggap tidak ada.” 

Siapa? 

“Baca baik-baik, lihatlah nama siapa yang tidak ada di sana,” jelas Aurora. 

Kuikuti sarannya. 

Ada. 

Ada satu orang. 

Si nomor 25! Sama sekali tidak disinggung di sana. 

“Kalau begitu pelakunya si nomor 25!” simpulku antara terperangah dan takjub. 

“Mungkin,” potong Sarah, mengejutkan kami bertiga sebab sejak awal diskusi dia diam saja.

Aurora berdeham. “Ada dua hal yang mungkin. Pelakunya si nomor 25 atau salah satu anggota kelompok kita. Karena tanpa kalian sadari, kitalah yang paling berpotensi melakukannya. Omega membuat kita berasumsi kita punya alibi karena selalu bersama. Tapi itu pulalah yang mengakibatkan kita jadi dalam posisi yang perlu dipertanyakan, kalau memang kita selalu bersama lalu kenapa kita sampai tidak sadar Freya menghilang?” Aurora bersandar lemah. 

“Ya,” lirih Sarah. 

Kami tidak tahu apa yang diiyakannya. 

Sedikit demi sedikit kuharap misteri ini akan terbuka dengan sendirinya. 

(Ling Chen) 

25th (Oleh : Hein L. Kreuzz)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang