18_ Like We Used To Be

1.6K 179 19
                                    

Jakarta, 2015

Tidak mudah memang melihat orang yang sejak lama kita cintai tanpa syarat, orang yang selalu kita jaga tanpa sedikit pun pamrih tiba-tiba menangis dalam pelukan orang lain. Ya, menagis dalam pelukan laki-laki yang selama ini menjadi alasannya tidak pernah bisa membalas cinta kita. Itulah yang Rendy rasakan. Tidak ada yang berakhir, karena memang tidak pernah ada yang dimulai. Tidak harus ada penyesalan, karena bukan inginnya jika itu memang sudah sangatlah terlambat.

Cassie masuk ke dalam ruang kerja Rendy. Dilihatnya Rendy tengah tertunduk dengan tatapan kosong di sofanya. Dan ia bisa melihat mendung menggelayut dari wajah murung itu. "Lo harus relain Illy, Ren. Lo mau dia bahagia, kan?"

“…” Rendy masih membisu, masih enggan untuk menerima kenyataan.

Cassie mendekat, lalu menuntun Rendy ke dalam pelukannya. Ia tidak tahu apa yang bisa menghibur atau membantu Rendy saat itu, tapi setidaknya bisa memberikan bahunya untuk berbagi beban. Perlahan tubuh Rendy bergetar, tangannya memeluk Cassie erat, seiring suara tangis yang tertahan.

"Gak ada salahnya kalau lo nangis. Selama ini lo udah lakuin semua yang lo bisa buat dia, gak ada yang sia-sia kalau akhirnya dia sekarang bisa bahagia." Cassie mengusap rambut Rendy. "Mungkin bukan lo yang buat Illy bahagia, tapi selama ini lo yang pastiin Illy baik-baik aja sampai kebahagiaannya benar-benar jadi nyata."

~~~

Di lorong rumah sakit, Al tengah mendorong Illy di kursi roda menuju taman. Masih pukul 9 pagi, dan matahari masih bersinar hangat menebarkan vitamin D-nya. Tak lama, mereka tiba di taman rumah sakit dengan rumput hijau yang sudah tidak menyisakan embun di atasnya.

"Hangat ya, kalau diam di bawah matahari pagi gini," kata Illy seraya menengadah.

"Iya, bagus juga buat badan kamu." Al mengusap pucuk kepala Illy.

Illy mengangkat tangannya di bawah sinar matahari, yang memperjelas lebam kebiru-biruan di situ. "Kamu lihat? Badan aku biru-biru gini." Ia kemudian menyentuh wajahnya. "Sampai muka aku juga. Aku pasti jelek banget ya, sekarang?"

Al beranjak ke depan Illy, lalu berjongkok. Ia menatap tiap inci wajah Illy sambil menyentuhnya lembut. "Kamu masih cantik kok, selalu cantik. Kecantikan kamu itu dari dalam diri kamu, hati kamu, bukan cuma fisik."

Illy tersenyum simpul. "Kalau ini gak hilang-hilang, gimana?"

"Ya enggak lah, itu pasti hilang, Ly. Kalau kondisi kamu udah lebih baik pasti hilang. Ini bukan pertama kalinya, kan?"

"Aku kan cuma nanya seandainya...." Illy merengut.

"Kalau seandainya badan kamu jadi biru semua, atau bahkan kamu berubah jadi avatar pun, aku tetap sayang sama kamu. Kamu tetap cantik di mata dan hati aku. Karena selama ini aku lihat kamu pakai hati, bukan cuma mata." Al kemudian tersenyum lebar. "Kalau perlu aku ikutan berubah jadi avatar juga, biar kita samaan, hehehe…."

"Haha… apaan sih, gak gitu juga!" Illy memukul lengannya Al.

"Haha…!” Al ikut tertawa. “Ya udah, kita lanjutin jalan-jalan paginya." Al bangkit dan kembali mendorong kursi roda itu.

Saat kursi rodanya sudah berjalan melewati beberapa pasien lain yang juga tengah menghangatkan diri di bawah matahari pagi, Illy teringat sesuatu dan yakin, Al pun pasti memikirkannya, hanya tidak mau menunjukannya. "Al…."

"Hmm?"

"Kapan kamu balik ke Bandung?"

Langkah Al terhenti, sadar jika apa yang ia khawatirkan pastilah juga terpikir oleh Illy. "Umm… aku masih mau jagain kamu di sini. Kalau kamu udah benar-benar sembuh, baru aku  balik buat cek café aku di sana."

About LOL (Losing Out Love)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang