Irene dan Vander itu seperti anjing dan kucing yang tidak bisa akur. Irene yang serius dan lurus harus berhadapan dengan Vander yang mesum dan semaunya sendiri.
Mereka sudah bersahabat sejak kecil. Tapi ada kalanya mereka juga bisa bekerja sama dan...
Dengan hati-hati dan amat sangat terpaksa Ariya meletakkan gagang telepon tersebut, lalu membuka mulutnya lebar-lebar dan mengucapkan sumpah serapah sambil menuding telepon tadi seolah ia tengah mengumpati Irene. Itulah yang sering Ariya lakukan kala kehabisan kesabaran karena tingkah laku Irene.
"Brengsek!" Umpatnya tertahan lalu memelototi layar komputernya untuk melihat laporan mana yang telah ia lewatkan sebelumnya.
"Hihihi..."
Suara tawa itu membuat Ariya menoleh dan wajahnya langsung memerah ketika melihat Blue Cameron berdiri bersandar pada dinding tak jauh dari meja kerjanya.
"Blue?!" Seru Ariya tak percaya.
Tujuh tahun bekerja bersama Irene membuat Ariya mengenal dekat semua temannya sekaligus keluarga Irene. Dan memanggil nama depan mereka tanpa sungkan lagi, salah satunya adalah Blue.
"Kau lucu sekali Ariya." Blue masih tersenyum kala mendekati meja kerja Ariya.
"Irene pasti membuat mu kesal lagi."
Wajah Ariya semakin memerah mendengar hal itu, dan berkata lirih memberikan pembelaan.
"Tidak juga. Aku juga punya andil membuatnya marah, karena tak bisa memberikan laporan tanpa kesalahan."
"Kau manusia Ariya. Hal yang wajar jika kau melakukan kesalahan."
Blue menarik sebuah kursi dan membawanya mendekat disebelah kursi Ariya. Meraih mouse yang Ariya pegang, tanpa sadar menyentuh tangan wanita itu hingga Ariya seperti tersengat listrik dan duduk dengan tegak akibat interaksi tersebut.
"Laporan ini kah?" Tanya Blue melihat laporan itu dengan mata menyipit dan menggulir mousenya dengan cepat.
"Boleh ku bantu?"
Ariya mengangguk meski Blue tak menatapnya. Wanita itu seolah kehilangan pita suaranya karena keberadaan Blue yang berada begitu dekat dengannya. Belum lagi harum parfum yang pria itu kenakan, membuat Ariya hampir mabuk kepayang dan mendaratkan kepalanya merebah diatas bahu lebar Blue Cameron.
Sialan Ariya. Apa yang sedang kau pikirkan saat ini?? Omel Ariya pada dirinya sendiri.
Ariya tak bisa mengalihkan perhatiannya sama sekali, dan wajah nya kembali merona saat Blue menatapnya dalam jarak dekat.
"Aku rasa hanya ini yang perlu kau perbaiki...oh wajah mu merah. Kau sakit Ariya? Tidak enak badan?"
Telapak tangan Blue meraba keningnya dimana Ariya sedang berusaha untuk menetralkan wajahnya sendiri begitu juga dengan detak jantungnya.
"Aku baik-baik saja, Blue. Terima kasih. Yang mana tadi kau bilang?"
Ariya mulai menggerakkan tempat duduknya, dan mereka menatap satu layar komputer itu bersama.
"Yang ini. Ada satu angka yang tertinggal. Jika sesuai dengan semua laporan yang ada, harusnya ada angka tujuh disini."
"Ini saja?" Tanya Ariya tak percaya.
"Aku rasa hanya itu."
Ariya mengatupkan bibirnya, meski di dalam hati ia sedang memberikan semua kata umpatan yang ia ketahui dari seluruh bahasa yang ia kuasai. Dan semua ia tujukan untuk satu orang yang sama yaitu Irene Randall.
Bisa-bisanya hanya karena satu angka itu Irene menyuruhnya memeriksa laporan lagi. Wanita itu kan bisa merubahnya sendiri tanpa perlu menyuruh Ariya. Benarkan?
"Kalau kau mau mengumpat, mengumpat saja Ariya." Kata Blue menahan senyum melihat ekspresi wajah Ariya yang dibuat seramah mungkin.
"Tidak Blue. Aku senang karena kau sudah mau membantuku."
Ariya mengirim laporan tersebut, dan melihat Blue menoleh padanya lagi.
"Kau tak memeriksanya lagi? Siapa tahu ada kesalahan lain yang terlewat..."
Dengan super manis wanita itu berkata, "Aku percaya padamu Blue."
Dan Blue pun tertawa. Tawa yang membuat Ariya mengatupkan bibirnya lagi, ingin berteriak senang dengan apa yang terjadi padanya kini. Yaitu kenyataan bahwa Blue tertawa disisinya.
Mereka saling berbicara selama beberapa menit sampai Ariya sadar jika Irene tak menghubunginya lagi, bahkan mengirim kembali laporan yang baru ia beri. Itu berarti laporan terakhir yang ia kirim sudah sesuai dengan keinginannya. Dan semua hanya karena satu angka saja.
"Senin depan kalian sudah kembali bekerja di MQ's pusat. Senang sekali rasanya aku bisa satu tempat kerja lagi dengan kalian, setelah selama tujuh tahun kalian kesana kemari mengembangkan MQ's."
"Aku juga senang akhirnya bisa kembali kesana. Rasanya seperti pulang ke rumah ku sendiri." Sahut Ariya menimpali perkataan Blue, dan mereka pun saling tertawa.
"Aku pikir dengan siapa Ariya bisa tertawa selepas ini. Ternyata kau Blue."
Blue langsung berdiri melihat keberadaan Irene. Tidak sadar sama sekali bagaimana raut wajah Ariya langsung berubah muram seketika.
"Aku sedang lewat didekat sini tadi. Sekalian mampir siapa tahu ada beberapa barang yang bisa ku bawa ke Austin, agar kalian tidak kerepotan besok."
Blue sudah beranjak mendekati Irene, melupakan keberadaan Ariya yang kini tengah menunduk untuk menyembunyikan kekecewaannya.
"Terima kasih. Kau bisa mendiskusikan semuanya dengan Ariya. Aku ada pertemuan penting setelah ini. Aku tinggal dulu ya."
Irene pun berlalu begitu saja tanpa menoleh lagi, atau tanpa memperdulikan tatapan heran Ariya. Karena seingat wanita berambut pendek itu, atasannya tidak ada pertemuan sama sekali. Jadi kenapa Irene pergi?
"Jadi, apa ada yang bisa ku bantu bawa hari ini Ariya?" Tanya Blue menoleh pada Ariya, tak mencegah kepergian Irene sama sekali.
🖤🖤🖤
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.