"Kau sudah ku anggap seperti kakak ku sendiri, Oscar. Jadi tidak mungkin kita menikah."

"Aku bukan kakak mu Livia. Dan lagi tidak ada pria yang pantas dan sepadan yang bisa mendampingi mu kecuali aku."

"Kau salah Oscar. Ada banyak pria yang pantas dan sepadan yang akan bisa mendampingi ku."

"Tapi aku satu-satunya keturunan bangsawan yang kerajaan restui untuk bersanding dengan mu Livia."

"Aku tak peduli dengan semua itu Oscar.  Aku bisa memilih jalan hidup ku sendiri, dan aku juga bisa memilih dengan siapa aku menikah nanti. Dan yang pasti orangnya bukanlah kau."

Raut ramah diwajah Oscar mulai menghilang secara perlahan mendengar ucapan Livia.

"Jangan salah paham Oscar. Kau baik. Kau bisa mendapat wanita lain yang jauh lebih baik dari ku."

"Tapi wanita lain itu bukan kau Livi."

Livia mulai merasa lelah harus berdebat dengan Oscar tentang perasaan pria itu, "Oscar aku mohon mengertilah."

"Ratu Suzanne tidak akan senang mendengar apa yang baru saja kau katakan Livia."

"Aku benar-benar tidak peduli, Oscar. Dan katakan pada ratu mu itu, jika aku akan menikah dengan pria yang ku cintai. Aku akan datang bersama pria itu saat upacara penobatan pangeran Hugo nanti. Aku pergi dulu. Aku sudah terlambat masuk kerja."

Tanpa menunggu balasan dari Oscar, Livi melesat pergi begitu saja. Tidak tahu sama sekali jika pria bernama Oscar Selberg itu menyipitkan mata berbahaya. Dan berdecak kesal tidak terima.

🖤🖤🖤

Telepon interkom diatas meja Ariya terdengar berdering, membuat wanita berusia tiga puluh dua tahun itu segera mengangkatnya meski ia tengah disibukkan oleh segunung laporan.

"Ya Irene?"

"Kau belum mengirim laporan Haag Company padaku."

Raut wajah serius milik Ariya berubah keheranan dalam hitungan detik, tangannya mulai menggerakkan mouse nya untuk melihat laporan yang dimaksud.

"Aku sudah mengirimnya pagi tadi." Kata Ariya mengingat, karena laporan itulah ia tidur pukul tiga pagi dan hampir terlambat bangun untuk bekerja hari ini. Seingatnya, ia memang sudah mengirim laporan tersebut begitu ia tiba, tak peduli Irene telah ada di kantor kecil mereka lebih dulu atau tidak.

Wanita berkacamata itu selalu tiba tepat waktu padahal ia pulang yang paling akhir diantara mereka. Entah berapa jam Irene tidur. Irene pasti tak perlu memikirkan laporan seperti dirinya. Tidak salah memang mengingat dialah bawahan Irene, sudah pasti Irene menyerahkan semua tanggung jawab pada Ariya. Tugas wanita itu hanya melihat-lihat dan mengawasi saja.

Tak Ariya sangka, wanita bernama Irene Randall ini benar-benar sangat dingin. Tak hanya diwajah saja. Bahkan sikapnya pun super dingin. Tak peduli separah apa kepala Ariya yang serasa ingin pecah, Irene terus memintanya mengerjakan laporan yang ia beri tenggat waktu tak masuk akal. Jika bukan karena Irene adalah keturunan raja Gustav, sudah lama Ariya mengajukan pengunduran diri saking tidak kuatnya ia bekerja dengan wanita dingin ini.

Irene itu kejam jika sudah menyangkut tentang pekerjaan.
Irene itu tiran brengsek.

"Aku mengirimnya kembali karena ada kesalahan. Coba kau periksa ulang dan kirim lagi dalam lima belas menit."

Ariya menahan diri untuk tidak mengumpat ketika laporan yang ia kirim pada Irene tadi pagi, dikirim ulang padanya. Tanpa memberi tahu kesalahan apa yang telah ia lewatkan. Itu berarti Ariya harus membacanya satu persatu dengan hati-hati dan memperbaikinya dalam waktu lima belas menit.

SAVEWhere stories live. Discover now