Mobil Arya terus melaju melewati jalanan kota. Lampu-lampu jalan yang mulai menyala membentuk bayangan pepohonan yang sesekali melintas di kaca. Suasana di dalam kabin masih hening, sampai akhirnya Nala menggigit bibirnya gelisah.
Ia ragu, tapi dorongan untuk bertanya ternyata lebih kuat daripada rasa sungkannya.
"Ar..." Suara Nala terdengar lagi. Sama pelannya dengan yang pertama tadi.
"Hm?" Arya menjawab sambil melirik sebentar, lalu kembali fokus ke jalan.
Nala menarik napas. Jantungnya semakin berdentum tidak karuan. "Kenapa sih, tadi lo ngotot banget mau nganter gue pulang?"
Hening lagi. Pertanyaan itu melayang-layang di udara. Membuat Arya sontak menggenggam setir lebih erat. Dia memang tidak langsung menjawab. Tatapannya tetap lurus ke depan, tapi rahangnya mengeras. Seolah tengah berpikir keras, menimbang-nimbang setiap kata yang akan ia ucapkan.
"Karena... gue nggak tenang kalo nggak nganter lo pulang." Akhirnya Arya bicara, dengan suaranya yang rendah.
Nala menoleh. Menatap profil samping wajah Arya yang diterpa lampu jalanan dari kaca depan.
"Nggak tenang?" Ulangnya pelan.
Arya mengangguk sekali, tapi masih tidak menoleh, karena mobil masih melaju. "Iya. Dari tadi siang gue masih kepikiran. Lo berdiri di bawah matahari lama, terus tiba-tiba oleng dan mimisan. Gue..." Ia berhenti untuk menarik napas. "Gue cuma nggak suka ngeliat lo kayak gitu."
Kata-kata itu mungkin sederhana, tapi sarat makna. Namun Arya buru-buru menambahkan, karena takut Nala salah paham. "Maksud gue... gue yang tadi ada pas lo nyaris tumbang tadi. Jadi, wajar kan, kalo gue khawatir?"
Nala menggenggam resleting tasnya erat. Mencoba menelan logika yang terdengar masuk akal. Meskipun ada nada lain yang terselip di balik suara Arya. Tapi Nala tidak ingin berpikir terlalu jauh. Pikirannya melayang ke momen di lobby kantor Baskara tadi. Tempat ia bisa merasakan aura dingin yang dipancarkan Dewa dan juga tatapan Arya yang terlalu keras kepala untuk ditolak.
"Tapi gue jadi nggak enak sama kalian berdua, Ar. Gue kayak bikin lo sama Mas Dewa jadi ribut tadi.."
"La," Arya langsung memotong. Untungnya lampu lalu lintas sedang menyala merah, jadi dia bisa menoleh sekarang. "Berhenti nyalahin diri lo sendiri." Suaranya terdengar dalam dan berat. Tegas, tapi tidak keras.
Nala terdiam. Arya memang hanya menatapnya sekilas. Hanya beberapa menit karena lampu merah sudah berganti hijau lagi. Tapi beberapa menit itu sudah cukup membuatnya menunduk lagi. Ada sesuatu di dalam sorot mata pria itu. Seperti kilatan emosi. Marah. Tapi bukan untuknya. Lebih mirip rasa marah dan frustasi pada keadaan.
"Tapi gue beneran ngerasa kalian ribut gara-gara gue," bisik Nala, masih kukuh dengan persepsinya.
Arya menghela napasnya berat. Tangannya masih menggenggam erat kemudi di depannya. "Nggak usah ge-er, ah." Ia mengambil jeda sesaat, seperti tengah menimbang kalimatnya selanjutnya. "Gue cuma nggak bisa diem aja, abis liat lo mimisan tadi."
Kalau sekarang ada alat pendeteksi kebohongan yang ditempel di tubuh Arya, pasti alat itu sudah berdengung kencang. Saking jelasnya aura bohong yang didapat dari kalimatnya barusan. Sudut-sudut bibirnya sampai berkedut saking menahan diri untuk tidak keceplosan bicara yang aneh-aneh.
"Ya pokoknya gitu, deh. Gue maunya lo pulang dengan aman. Itu aja." Arya berucap sambil tersenyum tipis, tanpa menoleh sama sekali.
Dari kursi penumpang, Nala mengernyit sambil menatap Arya lama. Mencoba mencari celah dari nada suara Arya, tapi pria itu tetap tenang. Seolah jawabannya sudah final dan tidak bisa diganggu-gugat lagi. Padahal, seandainya Nala tahu, di dalam dada Arya juga ada detak kacau dari jantung yang sama tidak bisa diamnya seperti miliknya.
Tapi Nala memilih untuk tidak memperpanjang lagi. Sambil menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil, matanya menatap jalanan yang mereka lewati malam ini. Mobil kembali hening hingga akhirnya berhenti di depan kosan Nala.
Arya menekan tombol rem tangan. Memastikan mobilnya sudah terparkir dengan aman. Satu tangannya masih menggenggam kemudi. Matanya mengikuti gerakan Nala yang tengah melepas sabuk pengaman yang sejak tadi melingkari tubuhnya.
Usai sabuk pengaman itu terlepas, Nala menoleh, menunggu, tapi dia sendiri pun ragu. Mereka sama-sama diam cukup lama. Duduk berhadapan, tapi tidak ada satu kata pun yang terucap dari mulut masing-masing.
Hingga akhirnya, Nala memilih untuk membuka suara lebih dulu. "Thanks ya, Ar.. udah ngotot nganterin gue pulang."
Arya tertawa. Atmosfer berat yang semula menggelayuti mereka mendadak hilang. Menyisakan nyaman yang sulit diungkapkan. Nala tersenyum manis di depannya. Tulus, meskipun tetap terlihat agak canggung.
"Gue yang harusnya makasih, La. Lo udah kerja keras banget hari ini. Makasih ya."
Nala mengangguk pelan, lalu menunduk lagi.
"Besok.." Suara Arya terdengar pelan, tapi mampu membuat Nala langsung mendongakkan kepala. "Jangan terlalu maksain diri, ya?"
Kelopak mata Nala mengerjap beberapa kali. Dia belum menjawab. Menantikan kelanjutan ucapan Arya setelahnya.
"Gue tau lo pengen semuanya sempurna. Tapi kalo lo sampe sakit, apa gunanya?"
Sederhana. Kalimat itu bukan kalimat mendayu-dayu yang penuh dengan diksi atau puisi yang menggungah hati. Tapi mendengarnya, dadanya Nala terasa seperti berdenyut aneh.
"Gue bakal hati-hati," jawab Nala.
Arya mengangguk, lalu tiba-tiba meraih kotak tissue dari dashboard mobil, dan menyodorkannya pada Nala sambil tersenyum jahil. "Buat jaga-jaga, kalo tiba-tiba lo mimisan lagi." Dan langsung disambut tawa Nala yang pecah memenuhi kabin mobil.
***
YOU ARE READING
JEDA - The Spaces Between
ChickLitApa jadinya jika Arya, yang sedang dalam proses mengobati luka patah hati, bertemu dengan Nala, gadis yang memiliki commitment issue? Lucunya, Nala bekerja di sebuah event organizer yang juga menangani acara pernikahan. Dia mati-matian mewujudkan we...
The Only Exception
Start from the beginning
