"Ya udah, hati-hati. Kabarin kalo udah sampe kosan." Ucap Dewa pelan.
Apa-apaan pake laporan segala? Situ ketua RT, yang harus dikasih laporan warga 1x24 jam?
Gerutu Arya dalam hati. Untungnya dia cuma mengucapkannya di dalam hati, karena tidak ingin mengganggu Dewa lebih jauh lagi. Jiper juga dia kalau tiba-tiba bogem mentahnya Dewa nyasar ke pipinya.
Akhirnya Arya hanya bisa menoleh ke Nala. Melemparkan tatap yang terselip kelegaan di matanya, meski langsung berusaha ia sembunyikan. Arya memang setengah mati mencoba untuk terlihat tetap datar, berharap rasa senangnya bisa tertutup dengan sikapnya yang seolah biasa-biasa saja.
Nala mengangguk singkat, menanggapi ucapan Dewa. Mendadak merasa canggung.
Kemudian Arya segera melangkah ke samping, memberi isyarat dengan tangan pada Nala. "Ayo, La. Gue anter lo pulang sekarang." Dan tanpa menunggu jawaban, ia pun berjalan lebih dulu keluar gedung, menuju area parkir di depan.
Nala menatap punggung Arya sebentar. Kokoh dan keras kepala, tapi di balik itu.. dia tahu kalau ada sosok hangat yang tersembunyi. Dan Nala pun perlahan mengikuti.
Beberapa langkah di depan Nala, Arya berjalan tanpa menoleh ke belakang lagi. Di dalam hatinya dia tahu satu hal, bahwa hari ini dia berhasil. Dia tidak mundur. Dia tidak lari. Dia memilih untuk tidak mengalah, dan tetap bertahan untuk ada di sisi Nala. Meskipun harus berhadapan langsung dengan Dewa, yang sampai sekarang dia masih belum tahu, apa hubungan yang pria itu punya dengan Nala.
***
Mobil Arya melaju pelan keluar dari area kantor Baskara. Jalan sore mulai padat oleh kendaraan orang-orang yang baru pulang kerja. Lampu-lampu jalan pun mulai menyala berurutan. Sementara di dalam mobil, suasanya begitu sepi. Hanya terdengat suara musik yang mengalun pelan dari pemutar audio di dashboard.
Nala duduk di kursi penumpang. Tablet dan semua berkas pekerjaannya sudah dimasukkan ke dalam tas. Tangannya terlipat di atas pangkuan, dan pandangannya lurus, menembus jendela depan mobil. Sesekali ia melirik ke arah Arya yang tengah fokus menyetir, lalu langsung mengalihkan pandangan lagi.
Kabin mobil Arya begitu hening. Penuh dengan pertanyaan dan pernyataan yang tidak terucap. Di kepala Nala terus berputar-putar pertanyaan yang sama. Tentang kenapa Arya bisa berubah begitu ngotot seperti tadi.
Nala sudah terbiasa mandiri. Terbiasa mengandalkan dirinya sendiri. Bahkan Dewa pun, yang dulu sempat dekat dengannya, tidak pernah sekeras kepala itu. Tapi Arya berbeda. Dari cara pria itu panik saat ia mimisan tadi siang, hingga caranya menghadapi Dewa barusan. Semua menunjukkan betapa kerasnya dia peduli pada Nala.
Di sisi lain, Arya menggenggam setir mobilnya kelewat kencang. Matanya mungkin fokus ke jalan, tapi pikirannya melayang-layang. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang berulang-ulang terngiang di kepalanya. Seperti kaset kusut yang terus memutarkan bait lagu yang sama berulang kali.
Sungguh, Arya ingin bicara. Tapi dia takut kalau suaranya akan terdengar terlalu emosional. Dia ingin menjelaskan pada Nala kenapa dia begitu ngotot di depan Dewa tadi, tapi khawatir malah membuat gadis itu takut. Jadi, Arya lebih memilih diam.
Nala menghela napas panjang. "Arya..."
Arya menoleh sekilas, cepat. "Hm?"
Tapi Nala tidak melanjutkan. Kata-kata yang semula ingin dia ucapkan, mendadak tertahan di tenggorokan. Dia hanya menunduk, dengan jari-jarinya yang meremas resleting tas di pangkuannya.
Arya melirik lagi, dan melihat ekspresi Nala yang terlihat bimbang. Ada keinginan untuk bertanya 'kenapa?', tapi sebisa mungkin dia menahan diri. Karena seandainya nanti ditanya balik, ia pun masih tidak tahu harus memberi jawaban seperti apa.
YOU ARE READING
JEDA - The Spaces Between
ChickLitApa jadinya jika Arya, yang sedang dalam proses mengobati luka patah hati, bertemu dengan Nala, gadis yang memiliki commitment issue? Lucunya, Nala bekerja di sebuah event organizer yang juga menangani acara pernikahan. Dia mati-matian mewujudkan we...
The Only Exception
Start from the beginning
