"Hah? Nggak gitu juga, Ar. Gue naek ojol aja, beneran. Atau ntar gue bisa bareng Mas Dewa..."
"Iissshh..." Arya tanpa sadar mendesis begitu nama Dewa keluar dari mulut Nala. Matanya melirik gadis itu tajam. "Justru itu, biar gue aja yang nganter lo balik."
Ada penekanan yang begitu terasa di dalam setiap kata yang Arya ucapkan. Seolah lewat kalimatnya, Arya ingin menegaskan bahwa kali ini dia tidak menerima penolakan.
"Gue udah liat lo mimisan tadi. Mana bisa gue ngebiarin lo balik sendirian, atau malah sama orang lain?"
"Arya.." Suara Nala melembut, mencoba melunakkan keras kepala pria di depannya.
Arya yang sedang menyusun kertas-kertas yang berserakan di meja, tiba-tiba memajukan tubuh hingga wajahnya berhadapan dengan Nala cukup dekat.
"Gue nggak peduli kalo harus ribut sama Dewa abis ini," ucapnya mantap. "Gue nggak mau mundur lagi. Hari ini gue harus nganterin lo pulang."
Nala mengerjapkan matanya beberapa kali. Mencoba mencerna ucapan Arya, yang masih belum bisa dia pahami. Mengapa perkara mengantar pulang saja bisa terkesan begitu penting bagi Arya?
Tapi belum sempat Nala menjawab, terdengar suara langkah mendekat.
"Panjang umur. Orangnya dateng." Arya memundurkan tubuhnya lagi begitu melihat siapa yang tengah berjalan ke arah mereka.
"La, udah siap pulang?" Dewa datang sambil memegang tasnya yang tersampir di bahu kanan. "Yok, gue anter."
Arya menoleh cepat. "Nggak usah, Mas. Hari ini Nala pulang bareng saya." Nada bicara Arya begitu mantap dan tegas. Tanpa keraguan sedikit pun. Padahal sebelumnya dia tidak berani memberikan perlawanan.
Dewa menghentikan langkahnya sambil menatap Arya bingung. "Pulang sama Mas Arya?" Ia lalu menoleh ke Nala, meminta konfirmasi. "Iya, La?"
Susah payah Nala menelan ludah. Matanya melirik Arya serba salah. Dia takut kalau mengiyakan tawaran Arya, akan semakin merepotkan. Sudah cukup seharian ini Arya menemaninya mondar-mandi ke sana kemari.
Tapi kalau ditolak, dia takut Arya tersinggung, lalu sakit hati, dan bunuh diri.
Ah, lebay sih kalau sampai bunuh diri segala.
Tapi serius, Nala jadi serba salah sendiri. Makanya dia memilih diam, tidak langsung menjawab pertanyaan Dewa.
"Ayo, La. Mobil gue udah nungguin di depan. Ntar lo kemalem pulangnya." Arya bangkit, lalu menenteng tas Nala yang sejak tadi tergeletak di sofa. "Mas Dewa nggak apa-apa kan, pulang sendirian?"
Padahal pertanyaan itu cuma pertanyaan biasa, tapi entah kenapa, rasanya seperti setengah meledek di telinga Dewa.
Dewa berdehem pelan, sambil membenarkan letak tas di bahunya. "Saya sih, nggak apa-apa. Tapi kan Mas Arya tau sendiri kalo Nala biasanya pulang sama saya. Takutnya kalo sama Mas Arya, Nala jadi sungkan atau canggung."
"Emang iya, La? Lo canggung sama gue?" Wajah Arya terlihat polos saat bertanya.
Bener-bener ya, si Arya ini. Udah siap banget nyiram bensin ke api yang berkobar.
Nala merasa makin menciut dan Arya bisa melihat itu. Dia paham betul situasi seperti ini. Pengalaman adalah guru terbaik. Bukan begitu, bukan?
"Yaudah, nggak apa-apa sekarang Nala pulang sama saya, Mas. Itu-itung ganti suasana. Mana tau Nala bosen bareng sama Mas Dewa terus. Lagian saya juga sekalian lewat kosannya Nala, kok," ucap Arya setengah bercanda, tapi tetap terasa terlalu tegas untuk bisa dibilang basa-basi.
Dewa menahan gemerutuk di giginya. "Nala tim saya, Mas. Jadi udah jadi tanggung jawab saya buat jagain dia." Sadar atau tidak, tatapan Dewa ke Arya mulai terasa menusuk.
YOU ARE READING
JEDA - The Spaces Between
ChickLitApa jadinya jika Arya, yang sedang dalam proses mengobati luka patah hati, bertemu dengan Nala, gadis yang memiliki commitment issue? Lucunya, Nala bekerja di sebuah event organizer yang juga menangani acara pernikahan. Dia mati-matian mewujudkan we...
The Only Exception
Start from the beginning
