Chapter 23: File 15

Start from the beginning
                                        

Bunyi getaran ponsel di atas meja bertabrakan dengan suara pengering rambut. Fattah tahu benar itu suara panggilan masuk, tapi tidak ada niat sedikit pun untuk mengangkatnya.

Kenanga berdeham, “Harry is calling. Tuh, temen lo yang kacamataan neleponin.”

“Biarin aja.”

“Lah? Kok nggak diangkat? Kalian lagi berantem?”

“Nggak.”

“Lah? Ya angkat dong. Siapa tau urgent.”

Fattah menggeleng tegas. “Udah, biarin aja.”

“Sepuluh kali, loh. Ada notif chat juga. Lo yakin nggak mau angkat?”

“Nggak, Kenanga.” jawab Fattah dengan tatapan tajam.

Kenanga menatap balik dengan heran. “Are you okay? Maksud gue, lo nggak biasanya begini. Ngehindar dari orang-orang.” hantu itu merengut. “Minimal jawab aja chat-nya.”

Justru itu masalahnya. Fattah tidak tahu harus menjawab apa. Dia menghindari Harry karena belum siap menjawab pertanyaan tentang rencana mereka selanjutnya. Dia butuh waktu.

“Sebenernya gue nggak tau apa yang terjadi sama kalian, tapi ngeliat Tirta sama Mohan juga ikutan nge-spam-in lo... Biar gue tebak, kalian berempat main detektif-detektifan kayak waktu SMA lagi? Dan jangan bilang, hasilnya buruk?”

“Begitulah.”

“Dari tadi lo bilang itu mulu.” Kenanga berkacak pinggang. “Sekarang gue tau kenapa penyelidikan kalian nggak jalan. Kesalahan pertama, kalian kurang komunikasi! Lo nggak usaha ngasih tau hal yang ngeganggu pikiran lo ke mereka, dan malah kabur-kaburan begini.”

Fattah terdiam. Tak ada kata yang bisa membantah ceramah yang sangat tepat itu. Dia hanya menatap ke bawah, larut dalam perasaan negatif.

Huft. Sebenernya gue benci sih harus ngelakuin hal yang nguras tenaga... tapi kayaknya gue harus ambil tindakan.”

Mendengar itu, Fattah langsung waspada. Dia tahu betul apa maksud dari tindakan Kenanga. Dia segera mencabut kabel pengering rambut dan melesat ke meja. Tapi terlambat, Kenanga sudah lebih dulu mengambil ponselnya dan memencet tombol terima.

“Yah, kepencet.” ucap Kenanga santai.

Kepencet apanya, jelas-jelas lo sengaja.

“Halo, Fatt?” suara Harry terdengar dari loudspeaker.

Di loudspeaker pula. Pinter banget.

“Fatt? Lo di sana, kan?”

“Iya, hadir.” jawab Kenanga yang tentu saja tidak bisa didengar Harry, karena tidak punya perantara energi untuk berkomunikasi lewat teknologi. Beda halnya kalau ada Om Gatra.

Fattah langsung merebut ponsel itu dan mematikan loudspeaker. “Iya, Har?”

“Fattah! Lo ini ke mana aja sih? Udah nggak nongol di grup, DM nggak dibales, telepon nggak diangkat. Sekarang gue sama Tirta ada di depan kosan lo, taunya lo nggak ada.”

“Gue lagi di luar.”

“Hah? Di mana?”

“Rumahnya Sissi. Kenapa?”

“Lo nggak cek grup, ya? Kita mau bahas sesuatu. Lo bisa nggak pulang?”

Fattah terdiam, melirik ke arah Kenanga yang hanya mengangkat alis.

“Fatt...” suara Harry melemah.

Desakan dari suara temannya, keheningan yang menggantung, dan rasa putus asa yang meluap membuat Fattah akhirnya menyuarakan isi hati yang tertahan.

To be With YouWhere stories live. Discover now