Chapter 22: File 14

329 57 15
                                        

Fattah turun dari motor, berdiri canggung menghadap sebuah rumah kuno bertuliskan “Jasa Pemandu Roh”. Tidak seperti biasanya, kedatangannya kali ini bukan untuk menjalankan tugas sebagai asisten dukun, atau pun sekadar mengantar Nicole pulang ke rumah. Hari ini, ada sesuatu yang berbeda—Mbak Hansa, pemilik rumah sekaligus Mamanya Nicole, memanggil mereka dengan alasan ada hal penting yang harus dibicarakan.

Entah kenapa, Fattah merasa gugup setengah mati. Dari nada bicara Mbak Hansa di telepon tadi, dia bisa merasakan bahwa wanita itu sedang marah besar. Dia bahkan sempat bertanya-tanya dalam hati, kesalahan apa yang telah dia buat. Memikirkannya saja sudah membuat keringat dingin mengalir di pelipisnya.

Di teras rumah, Mbak Hansa duduk sambil menunggu kedatangan mereka. Rambut panjangnya tergerai seperti biasa, dan tatapannya tajam begitu melihat mereka mendekat.

“Baguslah, kalian ke sini tepat waktu,” ucapnya dingin, dengan tangan terlipat di depan dada. “Ada yang mau saya tanyakan ke kalian. Terutama kamu, Nicole.”

Nicole tidak menjawab. Dia hanya berdiri diam, membiarkan Mamanya melanjutkan.

“Ini tentang Bu Ratih.” lanjut Mbak Mbak Hansa.

Perkataan itu sontak membuat Fattah dan Nicole saling memandang. Jantung Fattah berdegup lebih cepat... bagaimana Mbak Hansa bisa tau?

“Mama udah memperingati kamu,” nada suara Mbak Hansa mulai meninggi. “Ritual pemanggilan di rumah Bu Ratih gagal, kan? Kalau udah gagal, seharusnya nggak usah dilanjutin. Kenapa kamu keras kepala?”

“Aku—”

“Ada batasan di mana kamu harus berhenti!” potong Mbak Hansa tegas. “Itu peraturan yang udah kita sepakati bersama. Kenapa kamu malah lanjut menyelidikinya diam-diam, tanpa sepengetahuan Mama?!” intonasi Mbak Hansa meninggi. “Emang seharusnya dari awal kita nggak membantu wanita itu.”

Nicole masih bungkam, tetapi tatapannya mengeras. Dia mengepalkan tangannya sebelum akhirnya berseru, “Bu Ratih selama ini menderita karena kehilangan anaknya!”

“Kenapa kamu jadi ngelawan?!” bentak Mbak Hansa, telunjuknya teracung ke arah Nicole. “Denger ya, ini juga demi kebaikan kamu! Orang yang kamu hadapin itu bukan orang sembarangan. Kamu harus pikirin resiko terburuknya!”

Kata-kata Mbak Hansa seakan menampar kesadaran Fattah. Untuk pertama kalinya, dia benar-benar merasa langkah mereka terlalu sembrono.

Selama ini mereka terlalu santai, padahal musuh yang mereka hadapi memiliki pengaruh yang kuat. Nicole hampir kehilangan nyawa, dan Mohan sempat diserang karena Fattah tidak berada di tempat pada saat itu.

Mereka mencari bukti secara terpencar, bertindak semaunya sendiri, tanpa rencana yang jelas ataupun jaminan saling melindungi. Fokus mereka hanya pada hasil akhir, bukan keselamatan satu sama lain.

Dan sekarang, setelah semua yang terjadi, Fattah menyadari satu hal... Mereka tidak siap.

Setelah ini apa? Gue ngerasa nggak mampu membaca gerakan musuh dengan benar... pikir Fattah.

Skakmat.

Nicole hendak membalas ucapan Mamanya, namun Fattah buru-buru menengahi. Suaranya tenang tapi penuh tekanan.

“Maaf, ini salah saya. Saya yang menyeret Nicole ke dalam kasus yang sedang saya selidiki. Saya seharusnya tau batasan.”

Nicole menatapnya, terkejut. “Fattah…”

“Saat ini, saya emang membutuhkan Nicole, karena ada nyawa yang harus diselamatkan—”

Belum sempat Fattah menyelesaikan kalimatnya, Mbak Hansa tiba-tiba melangkah mendekat dan tanpa diduga, mencengkeram kerah bajunya dengan tangan gemetar. Tarikannya kuat, penuh emosi yang tertahan.

To be With YouWhere stories live. Discover now