“Misi, paket! Paket atas nama Clara!” Fattah berteriak iseng di depan sebuah rumah tua peninggalan era kolonial. Cat rumah itu sudah mengelupas di sana-sini, membuat suasananya tampak makin angker. Dia menunggu, berharap anak SMA penghuni rumah itu keluar dan membukakan pintu. Namun nihil. Tak ada suara, apalagi orang.
Fattah berjinjit, mengintip pekarangan dari balik gerbang. Di sana terlihat mobil milik Om Gatra terparkir miring. Pemandangan yang sudah sangat familiar, karena dari dulu pamannya itu tak pernah becus memarkirkan mobil.
“Apa gue kemaleman, ya?” gumam Fattah sambil melirik layar ponsel. Bukan sekali dua kali, tapi berkala. Hampir tiap menit, bahkan detik, dia cek jam sembari mondar-mandir di tempat.
Cklek!
Pintu rumah akhirnya terbuka. Muncul lah Clara, dengan masker menempel di wajah dan kipas elektrik di tangan. Dia mendecih ringan.
“Nyesel gue keluar. Kirain beneran abang kurir… Maap, nggak nerima tamu malem-malem!” ucap Clara ketus, lalu hendak menutup pintu setelah tahu bahwa yang berdiri di depan rumah bukan kurir, melainkan Fattah.
“Bukain atuh, Ra! Tega amat lo ngusir gue.”
Untungnya, suara lain muncul dari dalam rumah. Om Gatra.
“Eh, Fattah! Clara, ambilin kunci. Papa pengen bukain gerbangnya.”
Om Gatra menyambut Fattah dengan hangat, beda jauh dengan anaknya yang seperti itu tiri, kejam.
“Wis, makin ganteng aja, Fatt,” sanjung Om Gatra sembari membuka gerbang dan langsung menyerang Fattah dengan tanya-jawab plus ceramah kilat, “Apa kabar? Kuliahnya lancar? Kamu betah di kosan? Sering makan, nggak? Kamu suka lupa makan, loh. Kalo pun makan bukannya nasi malah micin. Kurangin minum es juga, cuaca lagi nggak bagus.”
“Napas dulu, Om…” ucap Fattah.
Om Gatra terdiam, lalu menarik tangan Fattah, mengajaknya masuk.
“Sebentar, Om. Motor saya masih di luar. Saya izin parkir di sebelah mobil, boleh?”
“Oh boleh, kamu kok kayak orang kelurahan aja pake minta izin segala.” jawab Om Gatra.
Fattah cengengesan. “Hehe, oke deh, sip.”
Setelah motor terparkir rapi, Fattah masuk ke dalam rumah. Saat hendak melepas sepatu, telapak tangannya tak sengaja mendarat ke wajah Clara yang ternyata berdiri tepat di belakang pintu.
“Kak! Masker gue belum kering ini! Rusuh banget sih lo jadi orang!” omel Clara.
“Kirain tembok. Lagian lo berdirinya di belakang pintu, lo tau sendiri gue kalo lepas sepatu pegangan di situ.” sahut Fattah.
“Jangan ke mana-mana, gue mau ambil piso dulu!” ucap Clara, setengah serius, setengah bercanda.
“Eh, kalian kenapa sih kalo ketemu nggak pernah bisa damai?” tanya Om Gatra dari kejauhan.
“Justru kalo ribut, tandanya saya sayang Clara.” Fattah membentuk love sign dengan jarinya, sedangkan Clara memberi isyarat kematian dengan dua jari yang diarahkan ke matanya lalu ke arah Fattah, seolah berkata ‘Awas aja lo, Kak!’.
“Kamu udah makan belum?” tanya Om Gatra, berjalan ke dapur. “Om masak mie sayur. Ambil aja kalau mau.”
“Makasih, Om. Maaf banget saya mendadak dateng malem-malem. Tadinya mau pulang ke kosan, tapi jalanan macet parah, keburu capek.”
“Iya, Fatt. Istirahat aja di sini. Kayak Mohan, dia sering dateng nemuin Clara. Emangnya kamu abis dari mana?”
“Nganter temen.” jawab Fattah pelan.
YOU ARE READING
To be With You
Mystery / ThrillerSeason 2 dari Try to Feel You. "Tak ada yang namanya kebetulan, yang ada hanyalah takdir yang menyamar." A REMAKE STORY This story is originally created by Kak @yakubaka Started: Kamis, 28 Agustus 2025 End: Senin, 13 Oktober 2025
