Chapter 10: File 2

381 66 22
                                        

Sepertinya memang benar kalau Nicole dan Sissi itu mirip. Bukan hanya soal wajah, tapi juga sikap mereka yang sama-sama sulit diajak bersekutu. Bayangkan saja, Fattah sudah mengirim pesan sejak kemarin sore dan sampai sekarang belum mendapat balasan. Bukannya dijawab, pesannya malah cuma dibaca.

Fattah, yang awalnya berniat minta tolong ke Nicole soal penyelidikan jimat yang ditemukan di kamar Aisyah, akhirnya terpaksa menghentikan rencananya. Sapaan sederhana saja tak dihiraukan. Semangat penyelidikannya langsung pending.

“Mas, ini kembaliannya.”

Sering kali Fattah termenung, mempertanyakan apa sebenarnya status dirinya di mata Nicole. Mereka bertemu hampir setiap hari, tapi sikap Nicole tak pernah benar-benar mencair. Seolah-olah Fattah hanyalah orang asing. Apa jangan-jangan, gue cuma dianggep asisten yang dijawab kalo ada urusan kerjaan aja?

Pikiran Fattah pun melayang, overthinking di siang bolong yang terik.

“Halo, Mas?”

Entahlah, mungkin hati Nicole benar-benar terbuat dari baja, begitu keras dan tertutup sampai-sampai Fattah merasa tak sanggup menjalin pertemanan dengan si gadis dukun itu. Sulit sekali ditembus. Kalau dianalogikan, Fattah adalah pejuang yang nekat menyerbu Benteng Takeshi, sementara Nicole adalah bentengnya. Nerobosnya? Mati-matian.

“Kembaliannya, Mas.”

Fattah menghela napas dalam-dalam, penuh kegalauan. Sudah lewat lebih dari dua puluh empat jam sejak pesannya dikirim, tetap tak ada tanda-tanda balasan.

Tin! Tin!

Lamunannya mendadak buyar. Suara klakson nyaring membuat tubuhnya tersentak. Saking kagetnya, kakinya nyaris keserimpet ban motor sendiri. Untung saja Fattah masih bisa menjaga keseimbangan.

“Heh, bocah! Cepetan minggir! Ini saya mesti ngisi bensin terus cap cus ke masjid buat pengajian! Jangan planga-plongo di depan!”

Dari arah belakang, seorang Ibu-ibu bergamis putih berteriak lantang. Baju putih si ibu yang seharusnya meneduhkan hati malah berbanding terbalik dengan ekspresi galaknya. Persis guru perpustakaan.

“Maaf atuh, Bu.” ujar Fattah buru-buru.

“Cepetan jalan! Jangan ngalangin deh, ah.”

“I-iya, iya, ini mau jalan kok.” Fattah buru-buru duduk di atas jok motornya.

“Mas, ini kembaliannya.” ucap Mbak SPBU memberikan selembar uang lima ribuan. Fattah langsung menerimanya. Setelah itu, dia segera kabur dari situ, takut keburu dilempar sandal sama Ibu-ibu tadi.

Di sepanjang jalan, Fattah kembali melanjutkan aktivitas berpikirnya yang sempat tertunda, tentang bagaimana caranya meluluhkan hati Nicole demi menyelidiki kertas keramat alias jimat. Tatapan Fattah tertuju pada lampu merah yang berdiri kokoh di pertigaan jalan. Perjalanan ke rumah Nicole tinggal setengah jalan lagi, namun ide masih saja belum muncul.

Tepat saat Fattah berhenti menunggu lampu berubah hijau, sekelompok anak SMA menyebrang, melintas di depannya sambil membawa alat-alat gambar. Seketika, sebuah kilasan muncul di benaknya.

Bingo.

Ujung bibir Fattah perlahan tertarik membentuk senyuman. Sebuah ide terlintas di kepalanya. Nicole nggak akan bisa nolak, pikirnya.

Begitu lampu berubah hijau, Fattah langsung tancap gas, melajukan motornya menuju rumah Nicole. Jalan kecil yang dinaungi pepohonan rimbun mengantar Fattah melewati tanjakan, turunan, jembatan, hingga menyebrangi sungai kecil. Kalau dipikir-pikir, rumah Nicole memang jauh. Ajaib juga kemarin dia bisa jalan kaki ke sana, soalnya busway dan angkot jelas tak bisa lewat. Jalanannya sempit, nyaris seperti jalur hiking. Mungkin karena waktu itu dompetnya kosong dan semangatnya kepalang tanggung jadi Fattah kuat berjalan kaki.

To be With YouWhere stories live. Discover now