Chapter 15: File 7

354 61 21
                                        

“Fattah...” bisiknya.

“Iya, Nicole?”

“Dia.”

Atmosfer di sekitar mereka berubah drastis saat pria yang disebut sebagai suami oleh Bu Awis menghentikan langkahnya. Pria itu berdiri di samping sang istri dengan senyum karismatik yang membuat Fattah tercenung. Posturnya tinggi menjulang, dengan sorot mata hitam yang mengintimidasi siapa pun yang menatap. Nyali Fattah menciut. Bukan hanya karena fisiknya, tapi pria ini memancarkan aura kuat, seolah siap menelan siapa pun di sekelilingnya.

Nicole bersembunyi di belakang Fattah, menarik ujung bajunya, mencari perlindungan.

Mereka berdua kalah telak.

“Barang apa yang jatuh? Pasti berharga. Beneran nggak usah dicari?” tanya Bu Awis, mengulang pertanyaannya untuk memastikan. Nicole menggeleng pelan, pipinya masih basah oleh sisa air mata.

“Kalian nggak berantem gara-gara ini, kan?”

Bu Awis mengangkat alis, pandangannya beralih pada Fattah, menaruh curiga.

“Ehm,” Fattah segera merangkul pundak Nicole, mencoba terlihat akrab. “Dia emang suka ngeluarin air mata kalo kena cahaya matahari. Ya, nggak?”

Nicole merespons dengan menginjak ujung sepatu Fattah, tapi Fattah tetap tersenyum. Fattah pun mempererat rangkulannya membisik, “Iyain.”

“...iya.” jawab Nicole, terpaksa.

Suami Bu Awis akhirnya bersuara, terbata-bata dan terdengar canggung, “Saya... bantu... dapat.” kemudian pria itu terlihat kebingungan sendiri. “Eh, chigau ka? (aku salah ngomong?)”

Bu Awis terkekeh. “Maaf ya, suami saya agak susah bicara Bahasa Indonesia. Kalian paham maksudnya, kan?”

Fattah mengangguk, lalu menanggapi, “Ee... yoku wakarimashita. Demo, hontou ni daijoubu desu. (Iya, saya paham kok. Tapi kita bener-bener nggak apa-apa).” jawab Fattah cepat.

Chotto bikurishita. Nihon go ga sugoku jouzu desu ne. (Saya agak kaget. Bahasa Jepangmu jago banget, ya).” puji pria itu, sedikit terkejut.

Iie, mada-mada desu (Nggak, belum). Saya masih belajar.” jawab Fattah merendah.

Meski berbicara pada Fattah, pandangan pria itu yang diketahui bernama Hirohiko, tertuju pada Nicole. Sorot matanya menyiratkan ketertarikan yang tidak disembunyikan.

“Ya sudah, lain kali hati-hati,” ujar Bu Awis, kembali mengambil alih suasana. “Ngomong-ngomong, apa yang kalian lakukan di tempat ini? Mau menguji rumor?” Bu Awis melanjutkan interogasinya yang sempat dikira sudah selesai.

Fattah tersentak. Pertanyaannya tepat sasaran.

“Saya tau kalian penasaran,” lanjut Bu Awis sambil terkekeh. “Rumor itu nggak ada. Dua hari lalu, anak dari jurusan lain juga datang ke sini buat membuktikan. Hasilnya? Nggak terjadi apa-apa. Anaknya masih hadir kuliah, sehat wal'afiat. Jadi, lebih baik jangan termakan isu. Saya sendiri cukup sering ke sini.”

Bu Awis sedikit memiringkan kepalanya, menatap mereka berdua dengan lembut. “Gerbang yang di depan sana cuma gerbang biasa. Itu pembatas lahan perkebunan milik organisasi saya. Nggak ada hubungannya sama hal mistis.”

Nicole akhirnya angkat suara, matanya melirik ke arah danau. “Dua anak yang menghilang, bagaimana? Nggak ada kaitannya?”

Bu Awis menggeleng, tetap tersenyum manis. “Soal itu, pihak kampus yang ngurus. Kami juga sudah koordinasi dengan kepolisian. Tapi sayangnya, nasib baik belum berpihak. Kita doakan yang terbaik aja, ya.”

To be With YouDove le storie prendono vita. Scoprilo ora