Chapter 20: File 12

356 60 16
                                        

⚠️ Chapter ini lumayan berat karena banyak teori.

Dialog antara Fattah dan Macaron nggak full Jepang biar nggak bikin pusing, ya^^

“Hai, Macaron di sini. Ini siapa, ya?” suara dari seberang sana terdengar ketika seseorang mengangkat telepon Fattah. Macaron—penulis artikel tentang Desa Kawakami, menjawab dengan sapaan ramah, “Moshi-moshi (halo)?”

Anoo (permisi)... selamat sore. Saya no one here, yang meninggalkan komentar di artikel Desa Kawakami.” Fattah memperkenalkan diri dengan nama samarannya karena orang di seberangnya ini juga menggunakan identitas samaran.

“Ah, iya! Aku inget, loh! Akhirnya bisa ngobrol juga sama kamu. Sekali lagi, halo dan salam kenal.”

“Salam kenal juga. Sumimasen (maaf) karena menelepon malam-malam begini.” ucap Fattah dengan sedikit ragu.

“Uun, heiki (nggak apa-apa kok), bicaranya jangan terlalu formal begitu, dong,” jawab Macaron dengan suara ceria. “Jadi, kamu ingin tau tentang Desa Kawakami, ya?”

“Iya,” jawab Fattah, “sebelumnya saya mau minta maaf kalau Bahasa Jepang saya nggak begitu lancar, saya soalnya gaikokujin (orang asing atau non Jepang).”

“Uso (bohong)! Aku kira kamu juga orang Jepang. Hebat, ya… ada apa ini? Kenapa orang dari luar Jepang mau tau soal ini?”

Fattah pun mencoba memberikan alasan, “Sebenarnya, saya mahasiswa yang mendapatkan tugas untuk meneliti masyarakat desa di Jepang dari sisi kebudayaan. Kebetulan menemukan artikel Anda tentang Desa Kawakami. Tulisan Anda sangat menarik, kritiknya sangat tajam dan berani. Saya jadi ikutan tertarik untuk menjadikan ini sebagai topik karya tulis.”

Kalimat itu sebetulnya bohong, tapi Fattah berharap Macaron percaya. “Kalau boleh, saya ingin tau lebih banyak.”

“Sou na no (begitu kah)? Aku kira cerita ini nggak begitu populer deh sampai bisa ditemukan orang luar…”

“Sepertinya saya beruntung bisa menemukan artikel Anda yang luar biasa.” kata Fattah menambahkan.

“Kamu ini… dari tadi muji aku terus,” Macaron tertawa kecil, terdengar agak malu. “Wakatta, wakatta (aku paham kok), sepertinya kamu butuh banget penjelasan dariku. Jangan khawatir, aku pasti akan membantu.”

“Terima kasih, saya sangat tertolong.”

Macaron tampak berpikir sejenak. “Sebaiknya aku jelaskan dari bagian mana, ya…” dia memberikan jeda, lalu berkata, “Ah, begini saja. Kamu tanyakan saja apa yang ingin kamu tau. Aku akan menjawab sebisaku.”

Kini giliran Fattah yang berpikir keras. Dia lalu membuka percakapan, “Mungkin… kita bisa mulai dari Inoue Akihiro?”

“Ah… Inoue-sama?”

Un (iya), dari yang saya baca, berkat Inoue-sama... desa itu menjadi pengekspor selada, deshou (iya, kan)?” tanya Fattah, berusaha memastikan apakah informasi yang dia temukan benar. Dari seberang telepon, terdengar dehaman penuh keyakinan sebelum Fattah melanjutkan, “Semenjak itu, warga jadi mulai mempercayai Inoue-sama memiliki kekuatan dari dewa yang membuat makmur warganya. Tapi... apakah Inoue-sama secara terang-terangan pernah memperlihatkan kekuatannya di depan mereka?”

“Soal itu... katanya, Inoue-sama berusaha memperbaiki perekonomian desa yang terpuruk dengan meramal masa depan dan menyusun strategi. Mungkin dari situlah para warga mulai mengambil kesimpulan,” jawab Macaron. “Kamu mungkin pernah dengar ini, Gempa Besar Kanto. Pernah?”

To be With YouWhere stories live. Discover now