Chapter 23: File 15

398 59 20
                                        

Sudah lama Fattah tidak masuk ke kamar Sissi. Sambil mengeringkan rambutnya dengan hairdryer, dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Tidak ada yang berubah. Dari dulu hingga sekarang, kamar itu masih sama seperti terakhir kali dia menginjakan kaki di dalamnya. Letak barang-barangnya tetap—tidak ada yang bergeser sedikit pun, termasuk replika yang tengah duduk di atas kasur. Boneka itu, yang kita sebut Sissi si boneka, masih setia di tempatnya.

Setelah mematikan hairdryer, Fattah melangkah pelan ke arah lemari berukuran sedang yang berdiri di sebelah meja belajar. Dengan hati-hati, dia membuka pintunya. Di dalamnya, baju-baju milik Sissi tertata rapi. “Minjem ya, Si. Iya, ambil aja, Fatt.” gumamnya sendiri.

Yah... bertanya sendiri, dijawab sendiri.

Tapi Fattah memang sudah dapat izin dari Tante Lea. Bahkan, Tante Lea sendiri yang menyuruhnya untuk mengenakan salah satu baju itu. Dari pada harus kedinginan dalam keadaan basah kuyup, Fattah memilih untuk menurut saja. Beruntungnya, banyak kaos gombrong di dalam lemari Sissi ini, jadi Fattah juga bisa memakainya.

“Pake yang mana, ya?” gumam Fattah.

Setelah berpusing-pusing ria memilih, akhirnya Fattah mengambil sebuah kaos polos berwarna putih. Mayoritas baju milik Sissi memang didominasi warna-warna itu juga, kalau bukan putih, ya hitam. Sungguh bertolak belakang dengan kepribadian Sissi yang mencolok dan ceria. Fattah sempat berpikir Sissi suka warna pink atau ungu janda.

Tiba-tiba pikiran Fattah melayang pada Nicole. Kepribadiannya yang monoton, sekaku dan sedatar ubin kantor kelurahan, justru punya koleksi pakaian berwarna cerah. Benar-benar ironis. Selera orang memang tidak bisa diprediksi.

Fattah menatap rintik-rintik hujan yang mengalir pelan di luar jendela.

…dan lagi-lagi, sosok Nicole mampir begitu saja di pikirannya.

Dengan cepat, Fattah menghapus semua pikiran yang menumpuk, lalu melepas bajunya. Namun, baru saja bertelanjang dada, sesosok hantu perempuan menembus tembok kamar tanpa permisi. Sosok itu menjerit sambil menutup matanya dengan kedua tangan.

Harusnya gue nggak sih yang begitu?

“Fattah! Bikin kaget! Lo ngapain di sini!?” seru Kenanga.

“Makanya, jadi hantu tuh nongolnya biasa aja... Kalo bisa ketok dulu pintunya kek, Ibunda Kenanga yang terhormat.” sahut Fattah sinis.

“Ya, gue kan nggak tau. Biasanya kamar Sissi kosong.” Kenanga menatap Fattah, lalu menyipit. “Eh, bentar... nada lo kok kayak lagi bete amat sama dunia. Lagi banyak masalah, Fatt?”

“Begitulah,” jawab Fattah singkat sambil mengenakan kembali bajunya. “Abis dari mana, Bunda?”

“Abis main ke rumah tetangga. Ada dedek bayi yang baru lahir, lucu banget mukanya.” tanpa izin, Kenanga lompat ke atas kasur dan tiduran di sana, tak peduli replika boneka yang terguling karena ulahnya. Fattah, dengan berbaik hati, membetulkan boneka itu.

“Tenaga lo gede ya... bisa ngejatohin ini.”

“Oh iya, maap! Karena lagi seneng, tenaga gue jadi nggak kekontrol.” Kenanga memeluk boneka Sissi dan mengelus kepalanya dengan manja, “Umumumu, maap, sayang...”

Fattah hanya menggeleng. Dalam hati, dia mengutuk kelakuan setan tidak waras yang satu ini.

“Apa liat-liat?” Kenanga menegur.

“Nggak papa...” Fattah meletakan bajunya yang basah di kenop pintu, lalu mengeringkannya dengan hairdryer.

Drrtt!

To be With YouWhere stories live. Discover now