Chapter 18: File 10

416 66 37
                                        

Fattah menguap lebar sambil memilah-milah buku di rak perpustakaan dan mencatat agenda kegiatan, mengabaikan rasa kesemutan di lehernya yang mulai terasa akibat terlalu lama menengadah dan menunduk berulang kali. Hari ini pun, Fattah menjalani karirnya sebagai asisten dukun dengan—uhuk—penuh kebahagiaan.

Nggak, itu bohong. Demi puja kerang ajaib, agenda Mbak Hansa minggu ini padatnya bukan main. Fattah yang bertugas merekap semua kegiatan jadi ikut-ikutan kena getahnya, mencatat keluhan klien yang panjang... sepanjang jalan kenangan. Jiwa magernya pun berontak tanpa ampun.

“Gue boleh cuti, nggak?” tanya Fattah pada Nicole, yang sedang asik menggoreskan kuas di atas kanvas. Namun, Nicole hanya berdeham, lebih memilih fokus pada lukisannya dari pada menanggapi pertanyaan yang menurutnya kurang bermutu itu.

“Seenggaknya sehari aja gue libur. Asisten juga butuh liburan.” lanjut Fattah.

“Sehari?” sahut Nicole akhirnya.

“Iya.” jawab Fattah.

“Minggu depan kayaknya nggak bisa.” ucap Nicole.

Tubuh Fattah langsung merosot, duduk lemas di lantai kayu.

“Tapi, aku coba bilangin ke Mama.” lanjut Nicole.

“Mantep! Bener, ya?” seru Fattah penuh semangat, langsung berdiri dan bersiap kembali ke pekerjaannya.

“Istirahat dulu lima menitan. Leher kamu bisa putus kalo dipaksa.”

“Kalo lo udah ngomong begitu, gue jadi nggak enak nolaknya hehe.” ujar Fattah sambil menyelonjorkan kaki dan bersandar santai di rak buku.

Dalam kesunyian, Fattah asik memandangi Nicole yang duduk beberapa meter di depannya, tepat menghadap Fattah. Rambut hitam kecokelatan milik gadis itu yang nyaris menutupi pandangan, diselipkan ke telinga, memperlihatkan wajahnya secara utuh... dan hal itu sukses membuat Fattah tak bisa berhenti menatap lurus ke depan.

“Kenapa ngeliatin aku?” tanya Nicole tanpa melirik Fattah, tetap fokus pada kegiatannya.

“Terus gue mesti liat ke mana?” sahut Fattah cepat.

Nicole mengganti kuas dengan santai. “Banyak yang bisa kamu liat. Di luar jendela ada pohon, kiri-kanan kamu juga penuh sama buku... jadi kamu bisa liat buku.”

“Dan di depan gue ada mahasiswi DKV yang lagi ngelukis. Lebih menarik buat diliat.” jawab Fattah, menatap Nicole intens.

Nicole menatap balik. Mereka berdua saling pandang.

Aksi tatap-tatapan itu mungkin akan berlangsung lebih lama kalau saja Mbak Hansa tidak tiba-tiba muncul dan memukul kepala Fattah pakai gulungan koran. Wanita itu berdiri dengan tangan berkacak pinggang, wajahnya penuh aura siap ceramah.

“Anak zaman sekarang kerja sedikit aja langsung loyo. Mau jadi apa kamu?” omel Mbak Hansa.

“Kasih saya waktu lima menit, Mbak...” Fattah merengek, setengah bercanda.

“Lebih cepet kerja, lebih cepet kamu punya banyak waktu buat leha-leha.” jawab Mbak Hansa, penuh prinsip.

Ya... bener juga sih.

“Tapi tadi Nicole yang—”

Mbak Hansa langsung bersedekap. Gestur itu... gestur menolak untuk percaya.

“Serius, Mbak.” ucap Fattah lagi, setengah berharap.

“Saya tuh bilang begini karena tau, kamu kalau udah keburu dapet notif dari temen-temenmu pasti langsung kabur ninggalin pekerjaan.”

To be With YouTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon