13_ You, Under The Tree & Crescent (1)

Start from the beginning
                                    

"Ke ruang kesenian," jawab Illy akhirnya, saat mereka sudah hampir sampai.

"Ngapain?"

"..." Illy kembali diam.

TIba di depan pintu kesenian, Illy mengambil kunci di sakunya lalu membuka pintunya. Sebagai anak teater, ia adalah salah satu orang yang mempunyai hak atas ruangan itu. Ia ingat, sesuatu miliknya yang disimpan di ruangan itu. Sebuah lampu meja.

Illy menarik Al masuk, lalu menyalakan lampu mejanya yang memantulkan bentuk bulan-bulan sabit kecil ke seluruh ruangan. Seketika itu juga, ruang kesenian yang gelap berubah, menjadi remang hanya dengan pantulan cahaya-cahaya berbentuk bulan sabit.

Illy kemudian memegang tangan kiri Al seraya melingkarkan sebelah tangannya ke pundak Al. Spontan Al melingkarkan tangan kanannya di pinggang Illy. Perlahan, Illy menuntun kaki Al untuk bergerak, ke depan, ke belakang, ke samping hingga mereka tidak lagi canggung dan mulai bergerak leluasa.

Tanpa berkata-kata, mereka larut dalam keriangan dan keromantisan yang tercipta begitu saja, hanya dengan bulan-bulan sabit yang tersenyum mengelilingi mereka. Bahkan, tanpa musik yang biasa digunakan sebagai pengiring pesta dansa. Seperti sepasang putri dan pangeran yang tanpa lelah mengayun tubuh mereka, mereka terus melukis indahnya cinta di lantai yang mereka tapaki.

Entah sudah berapa lama, tapi Illy mulai melingkarkan kedua tangannya di leher Al. Nafasnya sudah tidak teratur karena tubuhnya yang belum juga dibiarkan beristirahat. Hingga kakinya berhenti mengayun, tapi masih memeluk Al seraya tertawa kecil, menertawakan keanehannya dalam mewujudkan khayalannya.

Illy selalu mempunyai imajinasi yang ajaib. Entah didapatkan dari cerita fiksi yang ia baca, maupun dari khayalannya sendiri. Sejak kecil, ia sangat menyukai bentuk bulan sabit yang terlihat seperti tengah tersenyum. Karena itu, ia mempunyai impian untuk bisa berdansa dengan cinta pertamanya di bawah senyum rembulan itu.

Dan malam itu, Illy menyadari cinta pertamanya sudah ia temukan. Dan bulan sabit itu, bukankah tidak harus selalu bulan yang terlihat di langit? Itu semacam kompensasi yang ia ciptakan sendiri untuk mewujudkan khayalannya menjadi nyata.

"Ly...," Al memanggil Illy seraya merengkuh wajah mungilnya. "Kenapa kamu lakuin ini?"

"..." Illy tidak menjawab, hanya menatap Al sendu dalam senyum hangatnya, dengan nafas masih berantakan yang perlahan mulai terasa sesak.

"Apa pun maksud kamu, tapi aku bahagia. Ly, aku sayang sama kamu, aku gak akan pernah lupain malam ini." Al menundukan wajahnya perlahan, berusaha menghilangkan jarak antara wajahnya dengan Illy yang terus mendongak untuk sekedar bisa menatap wajahnya yang lebih tinggi.

Saat itu, Illy ingin sekali memejamkan matanya. Namun, sesak di dadanya semakin terasa. Ia berusaha menahannya, tapi terlalu sulit. Akhirnya, kedua tangannya sudah meninggalkan pundak Al, tapi berusaha untuk tidak memegangi dadanya di depan Al. Ia segera melangkah mundur, menjauh dari Al, kemudian berbalik pergi.

"Illy...." Al bingung dengan perubahan sikap Illy yang begitu mendadak. Saat itu, ia mengira apa yang hampir saja dilakukannya sudah membuat Illy takut atau tersinggung. "Kamu mau kemana?! Maaf kalau aku-"

Illy berhenti di ambang pintu, dan seketika ucapan Al terhenti. "Al, makasih buat malam ini, kamu udah bantu aku wujudin impian aku...," katanyanya tanpa menoleh. "Soal jawaban itu, temui aku di bawah pohon Ek hari minggu malam, satu minggu dari sekarang." Kemudian, ia benar-benar pergi meninggalkan Al dalam remangnya ruangan itu.

"Kamu selalu lakuin hal-hal spontan di luar dugaan aku, Ly.... Aku gak tahu dan gak pernah bisa tebak apa yang kamu pikirin," Al bergumam seraya terpaku. Ia masih belum mengerti dengan apa yang baru saja terjadi, namun satu hal yang pasti, malam itu adalah malam yang terindah yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.

About LOL (Losing Out Love)Where stories live. Discover now