"Inget, lah. Mana bisa lupa sama rumah sendiri?" Arya menjawab sambil membuka kemeja yang ia pakai, hingga tinggal menyisakan kaos putih polos yang ia jadikan dalaman. Wajahnya terlihat lelah, efek hanya tidur empat jam selama dua hari belakangan.

"Abisnya kamu lebih sering tidur di kantor daripada di rumah," gerutu ibu Arya sambil meletakkan sepiring ayam goreng di atas meja makan. "Ini rumah, Ar. Bukan cuma tempat buat numpang makan."

Arya nyengir. Lelah di wajahnya tetap tidak bisa menutupi hangatnya senyuman yang ia punya untuk ibunya. "Ada revisi desain urgent, Mi. Kalo hari ini nggak kelar, lusa proyeknya nggak bisa jalan. Kan Mami tau, kalo satu telat, bisa molor semua jadwal proyek aku."

Ibu Arya menghela napas, lalu melepas celemek yang sejak tadi ia pakai untuk melindungi bajunya dari kotoran saat memasak. "Kamu tuh, ya.. mentang-mentang ada kamar di kantor, sampe lupa sama kamarnya sendiri di rumah. Awas aja.. besok Mami ke sana, ngecek. Kalo isinya cuma bungkus kopi sama mi instan, Mami tutup kantor kamu!" Ancam ibu Arya.

"Ya jangan, dong. Kalo kantor ditutup, aku mau kerja apa?" Jiwa bungsu Arya langsung keluar. Merengek manja pada ibunya.

Ibu Arya terkekeh. Dia yakin bungsunya pasti tahu kalau dia hanya bergurau. Mana tega seorang ibu menutup perusahaan hasil jerih payah anaknya sendiri.

Baru saja Arya selesai memindahkan satu potong ayam ke atas piringnya ketika kakak laki-lakinya muncul entah dari mana.

"Jangan kerja mulu, Ar. Ntar nggak dapet pacar, nggak nikah-nikah lo!" Baskara menyomot seraup kerupuk udang dari dalam toples di atas meja makan, lalu duduk dengan asal di kursi.

Lirikan sinis Arya langsung melesat menusuk kakaknya. "Nggak usah sok nyeramahin. Lo aja baru nikah umur 36," balasnya singit.

Bukannya kesal, Baskara malah tertawa keras. Senang karena umpannya ditangkap dengan baik. "Paling nggak, gue nggak kelamaan pacaran. Sat-set, langsung kawin!" Baskara memasukkan sekeping kerupuk ke dalam mulut.

Arya memutar bola matanya jengah. "Mulai lagi..." gerutunya.

Ibunya pun hanya bisa menggelengkan kepala pasrah. Sudah biasa melihat kedua kakak-beradik ini saling adu bicara. "Baaasss..." Suara ibu Arya terdengar kalem, mengingatkan sulungnya agar tidak kelewat batas.

"Loh, aku bener kan, Mi?" Baskara menyahut santai. "Si Arya dua belas taun pacaran. Itu kalo buat nyicil rumah, udah lunas tuh."

"Kan gue nungguin dia kelar residen dulu," kilah Arya. Masih berusaha membela diri.

"Ah, alesan lo doang itu. Temen-temen gue banyak kok yang nikah pas masih residen. Emang aja lo nggak niat nikah sama Nadya."

Ibu Arya langsung menegakkan tubuhnya. "Baskara, jangan kelewatan!" Ucapnya, memperingatkan sekali lagi.

"Yaudah, sih. Kejadiannya udah lewat juga. Lagian kalo pun gue beneran pake buat nyicil rumah, sekarang rumahnya malah jadi lebih lega. Soalnya tinggal gue sendirian yang nempatin." Arya mencoba membalas serangan Baskara dengan lelucon sekenanya.

Lagian, siapa juga yang mau batal nikah? Kalau bisa, Arya juga mau nikah, seperti kakaknya atau teman-temannya yang lain. Tapi kalau urusannya hati, Arya mana berani berspekulasi. Di saat dia sendiri bimbang dengan perasaannya sendiri, tidak mungkin dia tetap memaksakan pernikahannya dengan Nadya.

Arya kembali fokus pada makanan di piringnya. Menikmati setiap suap dari masakan ibunya yang ia rindukan setiap hari. Dia mengunyah dalam diam. Hanya menjadi pendengar dari setiap percakapan yang mengalir antara ibu dan kakaknya.

Dia memang sedang tidak ingin banyak bicara. Tubuh dan otaknya sudah berada di tingkatan lelah paling tinggi yang bisa ia toleransi. Jika ditambah bebannya sedikit lagi, Arya tidak yakin masih bisa menahan diri. Tapi, sayangnya hening yang ia inginkan ternyata tidak berlangsung terlalu lama.

JEDA - The Spaces BetweenWhere stories live. Discover now