"Tapi Sabina juga sih..."
"Ih, apaan! Masih jauh banget! Mas Sabda duluan lah." Sabina menyela ucapan Bilal, menyebut sepupu mereka yang tertua kedua setelah Habibi, memancing tawa mereka karena Sabda masih berkutat dengan skripsinya dalam waktu lebih lama dari yang seharusnya, sibuk dengan bisnis yang ia jalani bersama teman-temannya.
Setelah beberapa prosesi adat yang mereka saksikan selesai, kini para sepupu itu berada di sudut ruangan untuk berfoto. Selain karena ini momen penting untuk mereka, sebenarnya mereka juga cukup jarang berkumpul seperti dulu lagi karena kesibukkan masing-masing. Belum lagi Valerie dan Baskara tinggal di luar kota, jadi hanya dalam acara keluarga tertentu seperti sekarang ini lah mereka akan bertemu dalam formasi lengkap.
"Kenan lo geser dikit." Zelfa memberi arahan pada Kenan saat mengambil foto para cowok-cowok. "Satu.. dua...tiga.... oke cakep! Ayok foto yang ramean lagi, abis itu makan." Ugi masih mempertahankan posisinya, membiarkan sepupu-sepupu ceweknya bergabung dengan mereka.
Seolah-olah sudah menjadi intuisi Sabina setiap berada di ruangan yang sama dengan Ugi, secara otomatis gadis itu membawa langkah-langkahnya untuk berada di samping Ugi. Seakan-akan memang di sana lah tempatnya. Dan seperti sudah menjadi refleksnya, Sabina melingkarkan tangan di lengan Ugi membuat Ugi tersentak kecil.
Dadanya berdenyut. Desiran halus yang dengan jelas dapat ia rasakan kini bergabung dengan nyeri yang tak terlelakkan. Sungguh memilukan bagaimana sentuhan Sabina yang menenangkan kini membuatnya berjengit oleh rasa sesak yang mengikat dada—menjadi pengingat akan perasaannya yang tidak seharusnya ada, dan justru kini ia terima sebagai bagian dari dirinya.
Ugi pikir tidak ada yang sadar dengan dirinya yang tidak banyak bersuara hari ini, tapi ia lupa—Sabina akan selalu memperhatikannya lebih dari yang lain. Seperti saat ini, tidak luput dari perhatian gadis itu bagaimana Ugi tersentak kecil yang membuat Sabina dengan cepat menurunkan tangan.
"Kenapa? Sakit ya? Kamu ada luka di situ?" tanya Sabina, sorot matanya penuh kekhawatiran.
Ugi menoleh, dan menggeleng lemah. "Nggak papa kok, kaget dikit kirain tadi Bilal tadi yang ngegandeng." Balas Ugi dengan candaan. Ugi menarik tangan Sabina untuk kembali pada lengannya, lalu menepuk pelan punggung tangan gadis itu sebagai gestur kecil agar Sabina tidak perlu mengkhawatirkannya.
Mendengar jawaban Ugi, Sabina tertawa kecil. Sebelumnya Ugi seperti berada dalam bayangan dengan perasaan yang ia tutupi sendiri. Tapi kini cahayanya telah ia nyalakan, dan setiap sisi yang dulu samar terlihat terang dan jelas.
Tawa Sabina sekarang terdengar seperti alunan melodi yang indah, dan Ugi bisa merasakan bagaimana detak jantungnya bertalu-talu setiap Sabina berada di dekatnya atau menyentuhnya—bercampur rasa sakit karena ia sama sekali tidak tahu apa yang harus ia lakukan dengan ini. Ia tidak bisa menyeret Sabina ke dalam perasaannya yang kotor.
Sabina mengeratkan pegangannya pada lengan Ugi, membuat cowok itu memejamkan mata berusaha menetralkan gemuruh di dadanya. Ugi menarik napas dalam-dalam, tapi rasanya berat. Seperti ada sesuatu yang mengganjal dadanya.
Menerima perasaan ini membuat dunianya bagai dibelah dua. Rasa lega karena akhirnya ia tidak perlu membohongi diri sendiri, namun ia juga harus menghadapi perasaan-perasaan yang akhirnya harus ia tanggung sendiri.
Bagaimana bisa ia menginginkan sesuatu yang tidak bisa ia miliki?
"Mas Ugi lagi nggak enak badan ya?" Tanya Sabina lagi saat mereka selesai berfoto, gadis itu tidak menyembunyikan nada khawatirnya.
Sabina sangat menyadari perbedaan Ugi hari ini. Cowok itu tidak banyak berbicara, hanya sesekali tertawa kecil menanggapi lelucon para sepupunya. Bahkan senyumnya tidak sepenuhnya terangkat, tipis sekali.
Lagi-lagi Ugi hanya menggeleng, memaksakan senyum lembut untuk menutupi perasaannya. Senyum yang terlihat seperti topeng rapuh hampir pecah. "Nggak papa, Sab. Serius! Kepikiran laprak sama tubes aja."
Meski belum terlalu yakin, Sabina menganggukan kepala. Menghargai jawaban Ugi yang mungkin tidak atau belum nyaman untuk diceritakan padanya. Sabina mengulurkan kedua tangan untuk mengusap kantung mata Ugi yang terlihat jelas.
"Keliatan, sih." Tawa mereka mengudara. Sangat mengerti maksud Sabina, kantung mata Ugi seolah-olah menguatkan alibi cowok itu. "Maaf ya kalo soal tugas aku nggak bisa banyak bantu."
Ugi bahkan tidak sadar memiringkan kepala saat Sabina beralih memberi elusan ringan di pipinya, membiarkan sisi kanan wajahnya berada dalam telapak tangan Sabina—seperti itu sudah menjadi reaksi tubuhnya yang alami atas sentuhan dari gadis itu.
Rupanya sakit itu masih kalah dengan kenyamanan yang Sabina berikan.
Despite the chaos in his heart, he couldn't resist her touch. It feels like a fleeting peace, even it's deepened his pain.
Sabina adalah sebuah doa yang bahkan tidak berani untuk ia ucapkan.
𓅪 ོ𓂃 ོ𓂃 ⋆.˚ 𓆡
ugi bakal jauhin sabina ga yaa kira kiraaa:(
anw jangan lupa tinggalin jejak ya men temen it means a lot for me yuhuu<3
YOU ARE READING
Light Your Way Home
RomanceUgi dan Sabina bagaikan dua bagian dari satu jiwa. Mereka berbagi dunia yang di mana hanya mereka yang mengerti tentang apa yang ada di dalamnya. Namun apa yang mereka miliki adalah paradoks. Semakin mereka mengambil langkah untuk mendekat pada sat...
12; shadow where it doesn't disappear
Start from the beginning
