Ugi berdiri di tepi balkon kamar, dingin malam menyentuh kulit tapi tak ia hiraukan. Pendar samar lampu jalan memayungi beberapa kendaraan yang lewat di depan rumahnya. Ugi melempar pandangannya lebih jauh lagi ke jalan-jalan kota yang ramai. Tapi di sini terasa sunyi. Hanya suara angin yang berbisik pelan dengan pepohonan—yang menerbangkan beberapa helai rambutnya.
Ugi memejamkan mata, meresapi alunan vokal samar dari lagu yang berputar di airpod-nya. Tapi justru di hitam pekat yang menyapanya saat menutup kelopak mata, sebuah senyum samar-samar muncul dengan binar matanya yang perlahan mengaburkan gelap itu. Tapi Ugi masih enggan membuka mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam senyum itu, diiringi untaian nada yang seolah menjadi refleksi dari kegelisahannya.
What does daylight look like?
What does daylight look like in this chaos of cold?
What does daylight look like?
Solitude and falling into respites now
(In Blur – Deafheaven)
Pukulan telak berupa rangkaian kata yang diberikan oleh teman-temannya beberapa hari yang lalu masih membekas di ulu hatinya, dan menghantui pikirannya. Mereka seolah-olah meletakkan sebuah cermin besar di hadapan Ugi, memaksanya untuk melihat sesuatu yang tidak ingin ia lihat. Namun kini sudah tidak ada celah untuk dirinya bersembunyi lagi—bahkan dari dirinya sendiri.
Perasaan-perasaan aneh yang selalu ia coba abaikan mulai masuk akal. Mengapa usapan pelan Sabina di sela-sela rambutnya terasa seperti hujan di tanah gersang, mengapa suara lembut Sabina seperti kedamaian yang bisa ia temukan di tengah kebisingan. Atau mengapa pelukkan Sabina terasa seperti pulang.
Semua hal-hal yang tidak ia mengerti, karena memilih untuk mengabaikanya kini mulai masuk akal.
Ia sayang Sabina lebih dari yang seharusnya.
Dadanya terasa berat. Ia kalah telak. Perasaan bersalah yang menggelayuti dirinya terasa begitu mencekik. Ugi mengeratkan pegangan tangannya pada pagar balkon, melampiaskan sesak di dadanya.
Ia tidak pantas untuk perasaan ini. Ia tidak pantas menyayangi Sabina dengan cara seperti ini. Perasaannya ini hanya akan menyakiti dan mengecewakan banyak orang. Terutama Mama.
Sesak Ugi kian menjadi, ia seperti menjadi seorang pengkhianat. Setelah semua yang Mama lakukan dan berikan untuknya, Ugi justru menyayangi Sabina yang sudah seperti anak sendiri bagi wanita itu lebih dari yang sewajarnya.
Ugi tidak ingin perasaannya ini membuat Mama berpikir bahwa selama ini Ugi tidak pernah menganggap dirinya sebagai bagian keluarga ini.
Sabina is the daughter she's always wanted.
Mama melihat mereka sebagai saudara. Apakah dengan mencintai Sabina akan membuat mama merasa bahwa Ugi tidak sepenuhnya menerimanya sebagai mama?
Pikiran itu menghantamnya, membuat mata Ugi memanas. Kini senyum Sabina tidak sendiri lagi di bayangannya, perlahan senyum hangat mama yang selalu percaya padanya muncul bersampingan dengan Sabina. Air yang menggenang di sudut mata Ugi jatuh, melewati pipi. Ugi mengubur wajah di telapak tangan.
"Maaf, Ma....Maaf, Sab." Bisiknya lirih dan sendu.
Apakah ia masih pantas untuk kasih sayang mama? Apakah ia masih pantas untuk kasih sayang Sabina?
Di hening malam itu, Ugi seperti kehilangan tempatnya berpijak.
𓅪 ོ𓂃 ོ𓂃 ⋆.˚ 𓆡
Langit-langit ballroom hotel berjulang tinggi, dihiasi lampu kristal yang memancarkan cahaya lembut yang memantulkan kilauan ke dinding berhiaskan kain-kain satin, dilengkapi ornamen tradisional. Gendhing kebo giro mengiringi sepasang mempelai yang menuju pelaminan dengan langkah anggun.
YOU ARE READING
Light Your Way Home
RomanceUgi dan Sabina bagaikan dua bagian dari satu jiwa. Mereka berbagi dunia yang di mana hanya mereka yang mengerti tentang apa yang ada di dalamnya. Namun apa yang mereka miliki adalah paradoks. Semakin mereka mengambil langkah untuk mendekat pada sat...
