Jian memalingkan wajahnya pada kaca jendela pintu, sementara Alan fokus menyetir sembari sesekali melirik ke arah Jian.

"Begini, boleh aku meminta waktumu lagi? Hanya sebentar—sepuluh menit saja" tanya Alan.

Jian mengangkat wajahnya, menatap Alan kaku lalu mengangguk ragu "Baiklah, tidak apa-apa"

Dumps park.

Alan menghentikan mobilnya di sana. Di taman kecil yang terletak di belakang rumah Jian. Mereka berdua turun dari mobil, kemudian menghampiri kursi panjang dan duduk di sana.

Alan menatap lurus ayunan yang berada lurus di depannya lalu berdeham dan bicara "Maaf, aku pasti sudah membuatmu terkejut. Sebenarnya aku ingin langsung menemuimu sejak aku tiba di Greeceland kemarin, tapi aku sengaja menahannya, entah mengapa aku berpikir hari ini adalah hari yang tepat. Sekarang aku di sini, aku menepati janjiku untuk kembali padamu" Alan bicara panjang.

Jian hanya menunduk, tak berani mengangkat wajahnya, terlalu khawatir air matanya jatuh tanpa henti "Selama ini aku tanpa lelah membohongi diriku sendiri, aku bilang pada semua orang bahwa aku bahagia meskipun yang sebenarnya—setiap hari aku selalu bangun pagi dengan perasaan bersalah" Jian mulai bicara, suaranya bergetar.

Alan yang sejak tadi hanya bisa memandang kurus kini melempar pandangannya pada Jian, menatapnya begitu dalam.

"Aku memikirkanmu setiap saat, aku membayangkanmu berjuang dengan kondisimu dan aku di sini tidak bisa berbuat apa-apa. Terkadang aku semakin merasa bersalah ketika mengingat apapun yang sudah kau lakukan untukku tapi aku tidak membalasnya" Jian melanjutkan, sementara Alan merasa pilu, ia beranjak dari duduknya lalu berdiri di depan Jian yang masih duduk dengan kepala tertunduk.

"Aku tahu kau pasti kembali meskipun aku tidak tahu kapan itu terjadi, namun ada kalanya hati kecilku mengatakan sebaliknya. Aku takut kau seperti orang tua kandungku yang membuangku atau seperti ayah angkatku yang pergi begitu saja. Kau tahu, aku selalu berpikir mereka semua tidak menginginkanku" Jian mengangkat wajahnya, mendongak menatap Alan. Saat itu juga air matanya meleleh, membanjiri wajahnya.

Alan kemudian berjongkok dan manyamakan tinggi tubuhnya dengah Jian. Diluar dugaan, pemuda itu malah tertawa, membuat lesung pipi dalamnya hanya terlihat segaris.

"Aku serius, kenapa kau tertawa?" Jian protes.

"Maaf" gumam Alan, senyumnya belum memudar.

"Kau pasti sedang menganggapku lucu, kan? Padahal sedikit mengingat kebelakang saja nafasku sudah terasa sesak" Jian mengeluh "Aku merasa kecewa dengan diriku sendiri sejak ibumu datang dan menceritakan semuanya tentangmu. Rasanya menyakitkan membayangkanmu terluka. Kau pasti bisa membayangkan apa yang kurasakan, tidak ada yang bisa kulakukan selain hanya bisa percaya padamu" tutup Jian, namun Alan kembali tertawa, kali ini sambil menyeka air mata di sudut matanya.

"Sudah? Masih ada yang ingin kau sampaikan?" Tanya Alan, Jian menggeleng.

"Maaf sudah membuatmu khawatir. Aku ingin menceritakan semuanya padamu—tentang apa yang terjadi, apa yang sudah kulalui dan apa yang kulakukan selama kita tidak bersama"

"Aku hanya ingin kau mendengar semua masalah yang sudah aku tutup dengan baik. Aku sudah mengubur semua masa laluku dan aku menjamin hal itu tidak akan bisa mengusik kehidupan kita nanti"

Middle Name | JAEWOO [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora