Jian menghela nafas kasar sebelum membuka pintu rumahnya. Kebiasaan yang selalu ia lakukan beberapa tahun belakangan ini. Tidak seperti orang kebanyakan, baginya rumah bukan tempat yang baik untuk pulang dan beristirahat. Definisi rumah bagi Jian hanya sebatas untuk persinggahan selama beberapa jam di malam hari.
Saat Jian masuk, seorang wanita paruh baya dengan rambut terikat kuda terlihat duduk di ruang tengah. Ia menghisap sebatang rokok ditemani secangkir kopi yang masih terlihat penuh belum tersentuh. Wanita itu tidak berniat untuk melirik Jian yang tengah berjalan mendekat, dia hanya fokus pada satu-persatu kepulan asap yang keluar dari mulutnya.
"Ini uang yang ibu minta, ada lebih sedikit—ibu bisa menyimpannya" Jian menyodorkan sebuah amplop cokelat, berisi tiga perempat gajinya dan uang yang seharusnya ia gunakan untuk pergi ke konser Jaden.
"Sejak kapan kita bisa menyimpan uang?" Wanita itu bicara datar setelah menarik amplop dari Jian dan menaruhnya di atas meja.
"Sejak ibu bertemu Jim, sejak ibu selalu memberinya uang" Jian merasa terpancing dengan ucapan Nina—wanita yang ia panggil ibu sejak balita.
"Aku tidak akan bersama Jim jika Kinnard pergi" Nina menjauhkan rokoknya lalu menaruhnya di asbak kayu yang berada di hadapannya.
"Bu, justru ayah pergi karena Jim" Jian agak mengerang. Sejujurnya dia mulai bosan dengan pembahasan hal ini.
"Kau tahu apa tentangnya? Dia jelas pergi karena hutang-hutangnya" Nina berdiri mendongak menatap anak tunggalnya yang tubuhnya jauh lebih tinggi darinya.
Denyit suara pintu kamar tiba-tiba muncul, pria paruh baya dengan tubuh tinggi besar nampak keluar dari sana lalu berjalan dengan tatapan marah menghampiri dua orang yang tengah berdebat.
"Kenapa kalian selalu saja berisik? Aku butuh ketenangan" Jim berteriak, wajahnya terlihat berantakan karena tidurnya terganggu.
Jian tahu setelah ini keadaan tidak akan berjalan dengan baik. Pemuda itu berbalik hendak berjalan menuju kamarnya, namun Jim buru-buru menyentak tangan Jian hingga mereka berdiri berhadapan.
"Hei, aku belum selesai bicara" Jim menggertak.
"Kau sendiri yang bilang butuh ketenangan" Jian membalas penuh penekanan.
"Jangan melawan jika aku bicara, aku kepala rumah tangga disini" Jim berteriak sambil mencengkram kerah baju Jian, sementara pemuda yang terancam hanya memberikan tawa mengejek untuk sang lawan bicara.
Jim semakin terpancing emosinya, satu tangannya mencengkram Jian lebih kuat dan sebelah tangannya lagi terangkat menghadiahkan sebuah tamparan keras untuk Jian tanpa aba-aba.
"Masih berani melawan?" Jim kembali berteriak.
Nina yang masih berdiri di sana hanya diam tak peduli. Wanita itu kembali duduk lalu menikmati sisa rokoknya yang tinggal separuh.
"Masih berani? Aku bahkan tidak pernah takut padamu" Jian mendesis meskipun sebelah pipinya terasa nyeri dan panas menyengat.
Jian berusaha menyentak cengkraman tangan Jim yang sudah berpindah di lengannya, Jian ingin berontak pergi namun pria paruh baya itu terus menahannya.
"Mau kemana? Aku bilang aku belum selesai bicara"
"Aku tidak ingin mendengar apapun" Jian berusaha menarik tubuhnya lebih keras namun Jim lebih dulu melayangkan pukulan cepat yang tidak bisa Jian hindari.
Bug
Jian tersungkur, rasa panas dan menyengat di pipinya kini hilang tergantikan dengan rasa nyeri dan pening di kepalanya. Rasa nyeri itu seperti merambat menemani pandangan mata Jian yang berubah samar diikuti bau anyir yang keluar dari hidungnya.
YOU ARE READING
Middle Name | JAEWOO [END]
Fanfiction"Untuk sementara jangan beritahu Gemma jika kita tinggal bersama" - Jian (Jungwoo) "Tolong pergi dulu kemana saja, aku dan Aster akan tiba di apartemen 10 menit lagi" - Alan (Jaehyun)
![Middle Name | JAEWOO [END]](https://img.wattpad.com/cover/364023965-64-k1257.jpg)