Part 1

5.4K 110 1
                                    

"Emma!!" Teriak Nadia dan Wina. Dua sahabat-cecurut yang selalu ngintil kemanapun Emma pergi-kesayangan Emma.
Mereka bertiga sudah berteman sejak SMA. Dan sifat Nadia dan Wina seratus persen bertolak belakang dengan Emma yang anggun dan angkuh.
Nadia dan Wina cenderung berisik, ratu gosip, suka tertawa keras dan berteriak sangat kontras dengan penampilan mereka yang terbilang serba mewah.

Kadang membuat Emma jengah. Namun Emma begitu menyayangi mereka layaknya saudara sendiri. Mereka yang low profile menurut Emma sangat cocok dengannya yang terkesan dingin dan sombong. Mereka sama sekali tidak takut dengan kemarahan Emma dan tidak pernah tersinggung dengan kata-kata sinis nan pedas dari mulut Emma. Yang ada mereka malah menjadikannya bahan lelucon. Terkadang Emma jengkel dengan sikap keduanya. Namun juga merasa lega memiliki mereka berdua.

Karena dikala Emma merasa keangkuhannya melewati batas, ada mereka berdua yang menyadarkannya. Dan Emma-sedikit merasa-senang dengan hal itu.
Sebenarnya Emma ingin sekali bersikap seperti Nadia dan Wina. Namun keadaan yang membuatnya begini.
Sejak masih dalam kandungan Emma sudah di tahtakan sebagai pemilik SUNY coorporation sehingga tutur kata dan tingkah lakunya selalu menjadi sorotan media. Jadi Emma harus selalu menjaga image nya dimanapun dan kapanpun.
Entah sampai kapan. Mungkin seumur hidupnya. Atau Mungkin setelah matipun dia harus tetap bersikap anggun. Sungguh menyiksa menjadi Putri tunggal keluarga kaya dan terhormat.

Emma menoleh ke arah suara berisik tersebut dan melihat kedua temannya nyengir kuda. "Did you ever speak quietly? Elegantly? Huh? I'm not deaf!" Tekannya sarkastik dengan tatapan tajam.

"Yaelah, Em.. gitu aja sewot. Mau nyaingin mak lampir lo?" Balas Nadia tak kalah sarkastik.

"PMS yaa lo?" Timpal Wina.

Emma hanya memutar bola mata melihat kata-kata teman- temannya. Mereka sama sekali tidak takut dengan tatapan membunuh Emma. Mungkin otak mereka sudah korslet, pikir Emma.

"Lafaaarr Em.. kantin yok.. masih setengah jam lagi masuk.." kata Nadia merangkul lengan Emma sembari berjalan diikuti dengan Wina. Emma hanya pasrah di giring temannya ini. Kalau melawan yang ada Emma malah mati muda gara-gara tekanan darah tinggi menghadapi teman-temannya yang tidak tahu diri ini.

***

Emma mengaduk-aduk jus tomat di depannya sambil menopang dagu dengan sebelah tangannya. Sedangkan Nadia yang sudah belepotan dengan saus spagetti asyik bergosip ria dengan Wina yang lahap menyantap bakso favoritnya.

Satu lagi kebiasaan aneh mereka. Makan. Mereka berdua bisa menghabiskan 8 porsi main course dalam sehari tanpa sakit perut karena kekenyangan. Dan yang lebih anehnya lagi, dengan memakan sebanyak itu tanpa menaikkan timbangan mereka.
Mau makan sebakulpun hanya akan berdampak pada perut mereka yang sedikit membuncit untuk beberapa jam ke depan. Ajaib.

Sedangkan Emma, bukannya menjaga tubuhnya agar tetap ideal. Tapi dia memang tidak memiliki nafsu makan badak seperti kedua temannya. Menghabiskan seporsi spagetti saja sudah merupakan pencapaian besar untuknya.

"Lo kenapa Em?" Tanya Wina dengan pipi menggembung karena menyimpan bakso di sana. Seperti hamster.

"Nothing. Cuma agak capek aja. Tuntutan mama makin hari makin banyak. Bikin pusing." Jawab emma datar sambil memijit-mijit pelipisnya.

" Mank nyokap lo minta apa ? Minta cucu?" Celetuk Nadia asal.

Emma tersedak mendengar omongan Nadia. Sedangkan Wina sudah menyeburkan bakso keluar dari mulutnya karena tak kuat menahan tawa.
Emma dan Nadia berjengit melihatnya.

"Euw, jorok lo, win!" Teriak nadia jijik.

Emma segera mengambil tissue untuk membersihkan lengannya dari cipratan bakso Wina.

"Oh my god Win.. kamu bisa ga sih ga jorok kayak gitu? Malu-maluin tau ga.." ujar Emma ketus masih sambil melap tangannya dengan tissue.

"Habis omongan Nadia bikin gue pengen boker saking kagetnya."

"WINA!" pekik Emma mendelik pada Wina.

"Bener-bener anak ini yah. Lo makan pun ngomong ga bisa disaring. Kebangetan banget joroknya." Timpal Nadia.

Sementara Wina hanya terkikik geli melihat teman-temannya ngomel ga jelas.

Emma mendengus kesal melihat tingkah Wina sementara Nadia kembali menyantap makanannya dan mengacuhkan Wina.

"Eh, udah mau masuk nih. Ayo." Ajak Emma sembari menatap jam tangannya.

"mmm ok. Tapi gue ke kamar mandi dulu. Lo duluan aja sama Wina." Jawab Nadia menyeruput minumannya cepat lalu tanpa menunggu jawaban segera bangkit dari kursinya dan mengambil tasnya kemudian berlari ke arah toilet.

***

"Daffa Pratama, ini Kartu Rencana Studi untuk semester ini. Kamu udah selesai registrasi kan buat mencabut masa cuti kamu?" Jelas ibu Sinta, Kepala Administrasi.

"Iya bu." Jawab Daffa singkat.

"Semester lima ini mungkin ada empat sampai lima kali pertemuan di kelas sebelum magang di mulai. Pembagian tempat magang mungkin akan di pasang di mading dua minggu depan." Kata Bu Sinta lagi yang di jawab dengan anggukan Daffa.

"Baiklah kalau begitu. Isilah KRS mu dan tempelkan pass photo mu. Setelah itu kumpul di ruangan ibu." Sambung Ibu Sinta. Daffa pun permisi keluar ruangan administrasi.

Daffa berjalan menunduk memperhatikan KRS nya dengan seksama. Dia memang memilih memajukan waktu magangnya di semester ini agar tahun depan dia bisa fokus mengerjakan skripsinya. Secara nilainya selama ini tidak ada yang bermasalah. Malah sangat baik hingga mendekati sempurna.

Daffa pratama memang merupakan Mahasiswa teladan di Universitas SUNY. Parasnya yang tampan-bahkan sangat tampan- dan otaknya yang cerdas hingga membuatnya menjadi Ketua Senat pada saat dia masih semester 3.

Sayangnya dia mengambil cuti kuliah setelah menyelesaikan masa jabatannya di Senat karena Ayahnya meninggal. Dan harus merawat ibunya yang jatuh sakit karena terpukul dan mengurus adik-adiknya.
Sebagai penopang hidup keluarga semenjak ditinggal ayahnya, Daffa harus bekerja di sebuah percetakan sebagai tambahan uang sekolah ketiga adiknya.
Jadi dia memilih cuti setahun untuk fokus mencari uang.

Untungnya saja kampus masih mentolerir alasan pengambilan cuti Daffa. Sehingga beasiswanya selama ini tidak di cabut.

Ya. Daffa bisa masuk Universitas SUNY karena beasiswa berprestasi yang di dapatnya hasil mengajukan ijazah SMAnya.

Mana mungkin dia yang berlatar belakang keluarga menengah bisa membayar uang masuk dan SPP di kampus ini yang per semesternya setara dengan harga motor sport.

Apalagi sepeninggal ayahnya sekarang yang dulunya hanya seorang pegawai negeri. Jadi saat ini keluarganya hanya berharap pada uang pensiunan ayahnya yang tentu saja tidak cukup memenuhi kebutuhan mereka berlima. Sehingga Daffa memilih cuti setahun agar bisa membiayai sekolah adik-adiknya.

Sementara uang pensiunan ayahnya di pakai ibunya sebagai modal membuka usaha kecil-warung kelontong-depan rumahnya.

Kini Daffa bisa bernafas lega dan melanjutkan kuliahnya karena usaha ibu berjalan lancar. Setidaknya cukup untuk membiayai kehidupan keluarganya sehari-hari di tambah uang pensiunan ayahnya yang masih berjalan tiap bulannya.

Daffa mendongak ke atas dan menghembuskan nafas lega. Mengingat perjuangannya karena mampu melewati masa-masa sulit dalam keluarganya pasca ditinggal ayahnya.

Kemudian kembali menunduk menatap KRSnya. Mengamati dan memilah mata kuliah apa saja yang mampu dia ambil untuk semester ini mengingat jadwal magangnya yang pasti membuatnya sibuk. Dia tidak ingin kewalahan nantinya karena kelebihan mengambil mata kuliah.

Saking seriusnya menunduk melihat KRS di tangannya tanpa memperhatikan jalan di depannya.
Dari arah berlawanan tampak 2 orang gadis yang asyik bermain dengan iphone nya masing-masing.

Hingga mereka berpapasan dan.....

Brukk!

***

Di mulmed ada si Daffa ganteng. Avan Jogia.

Only EmeraldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang