"Dia mengaggumkan" Jian mengerjap mengalihkan pandangannya pada deretan foto hasil tangkapan Callum.

Diantaranya foto Aster, Alan, orang tuanya, beberapa orang-orang yang tak Jian kenal dan juga foto Callum sendiri. Jian tertarik menarik sebuah album yang tertumpuk di atas meja dan membuka setiap lembarannya sementara Alan sibuk menata beberapa deretan foto-foto Callum sembari menggumam "Rasanya tidak adil kau akan tetap muda sementara aku akan menua"

Jian hanya menyunggingkan senyum, lalu menilik foto-foto Alan yang membuat dirinya terkagum.

"Hari ini aku menyakiti seseorang yang sejak dulu kau jaga sepenuh hati. Kau mungkin kecewa aku tidak bisa menjaganya, tapi entah kenapa aku percaya kau tidak akan marah jika aku meninggalkannya. Mereka bilang aku bodoh, aku gila karena hanya aku yang tak percaya kau mengambil jalan pintas, bukankah sebaliknya? Mereka semua yang gila, mereka tak mempercayaimu, hanya aku. Like what you said, aku benar, mereka yang salah. Hanya aku yang paling mengenalmu, tidak ada yang lain" Alan bicara tenang tepat di depan foto mendiang kakaknya.

Jian langsung menolehkan wajah dan menatap Alan, hatinya bergemuruh dan pilu. Alan tentu saja tidak baik-baik saja. Jian buru-buru meletakan asal Album di tangannya kemudian menghampiri Alan yang berdiri membeku. 

"Say something!" pinta Alan.

"Hah?" Jian bergidik.

"Katakan sesuatu padanya" pinta Alan lagi. Sembari menatap wajah Jian.

"Sejak tadi kau membuatku takut" Jian menggumam.

Alan hanya menyunggingkan senyum, tak bermaksud bertingkah seperti orang gila di depan seorang yang ia cintai.

"Tuan Jemal?" Suara seorang pria dari arah ruang depan tiba-tiba memecah keheningan.

Alan langsung menoleh ke arah pintu lalu menatap Jian "Sebentar"

Jian mengangguk, lalu mengawasi Alan yang melangkah ke luar ruangan. Samar-sama ia mendengar percakapan Alan dengan seseorang yang Jian duga sebagai pelayan.

"Tuan, jika anda butuh—"

Bukan hal yang penting, Jian tak lagi fokus mendengarkan. Ia beralih menatap foto Callum. Menghela nafasnya sesaat kemudian matanya mengerjap.

"Hai, Callum! Aku Jian—Ah, Meir, Aku Meir" "Alan sangat menyayangimu dan aku yakin kau juga sebaliknya. Jadi, tolong jangan titipkan Aster pada adikmu karena Alan milikku. Jangan pernah membuat hidupnya sulit karena aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Tolong ingat kata-kataku" Jian memicingkan mata.

"Dan—semoga kau tenang" lanjutnya.

Jian kemudian kembali menghampiri sisi ruangan memembenarkan posisi album pada tempatnya usai mengambil selembar foto yang ia lipat dan selipkan pada saku celana bagian belakang.

Jian kembali menatap foto Callum, tersenyum miris memandangi senyuman manis itu lalu kembali bicara "Aku mengambil satu foto Alan. Terima kasih"

Jian menghela nafasnya lagi kemudian menarik senyum. Pemuda itu menoleh ke arah pintu, sadar Alan masih diluar. Jian kemudian memutuskan untuk meninggalkan ruangan, mematikan lampu dan menutup pintunya rapat-rapat.

Alan sudah berada di ruang tengah berdiri seorang diri di depan meja marmer, dua tangannya sudah membawa dua gelas berisi wine. Pemuda itu tersenyum singkat saat melihat Jian seolah-olah sedang menanti kedatangannya.

Jian menerima gelas yang diberikan Alan sembari membayangkan hal konyol yang tiba-tiba saja masuk di kepalanya.

"Kau tidak memasukkan racun kedalamnya kan?" Tanya Jian. Sebuah skenario tiba-tiba muncul di kepalanya—seorang pria yang datang sebelum Jian keluar dari ruangan Callum ternyata membawakan racun ampuh untuknya atas perintah Alan.

"I did" Alan menjawab sembari menaikkan sebelah alisnya.

"Keinginan terakhirku, aku ingin kau selalu dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangimu dan kau bisa hidup bahagia dengan orang yang kau pilih dan kau cintai" Jian bicara dengan tenang, kemudian meminum wine-nya dalam dua kali tenggak.

Alan tersenyum. Lalu memasang piringan hitam pada turntable dan menyalakannya, mengalunkan lagu The Originals - Baby, I'm for real.

"Welcome to heaven, Meir Jemal" Alan berseru, terdengar konyol namun bisa membuat Jian tertawa.

Alan mengambil gelas wine-nya memutar-mutar gelasnya lebih dulu kemudian menenggaknya sampai habis. Setelahnya ia berjalan menuju perapian, mengumpulkan dan menumpuk beberapa kayu kering di tengah-tengah dasar cerobong, lalu menyalakan api hingga semua kayu terbakar sempurna.

"Ibumu cantik" Jian membuka percakapan. Alan tak merespon, sibuk dengan kegiatannya.

"Kalian mirip. Tapi kau lebih mirip ayahmu" kata Jian lagi "Ayahmu seperti kau di masa depan" lanjutnya.

Alan tersenyum sekilas "Berarti kau sudah punya gambaran bagaimana jika aku tua nanti"

"Tetap saja masih tampan" Jian mengamati punggung lebar Alan.

"Bagaimanapun kau harus bersyukur memiliki orang tua seperti mereka. Kau lebih beruntung ketimbang aku"

"Kau tidak punya orang tua tapi kau punya aku" Alan bicara sembari menatap api yang tengah menari-nari melahap liar kayu bakar.

"Kau ingin menjadi ayah angkatku?" Jian mengernyit.

Alan akhirnya menoleh ke belakang, membuat Jian tergerak untuk berjalan mendekatinya dan duduk di samping Alan menghadap perapian yang menyala.

"Aku hanya ingin jadi teman hidupmu. Aku sudah memilihmu, Meir"

Jian membisu, menatap Alan dalam diam. Tak berkutik saat sorot mata Alan kini berpindah ke bibirnya, memangkas jarak lalu menciumnya. Sangat dalam hingga jantung mereka berpacu, membuat nafas mereka naik turun dengan tempo yang cepat.

Jian bisa mencium aroma dari tubuh Alan menyeruak hingga ia menyadari bahwa pemuda itu menggunakan parfum pemberiannya. Matanya Alan berkabut, pemuda terus menghujani Jian dengah ciuman panas ditemani suara turntable yang masih mengalun—beradu samar dengan suara kecapan dan leguhan dua orang yang sedang dikuasai nafsu.

Alan kemudian memutus ciuman itu, membuat Jian kembali bernafas. Wajahnya terlihat indah dengan mata sayu dan bibir yang basah, merekah dan terbuka. Tak ingin berakhir, Jian berusaha mendekatkan wajahnya pada Alan meminta sentuhan itu berlanjut, namun Alan menghindar, menatap nanar dan sayu.

"Meir, I want you. I want you so bad"

***

Foto yang ditilep

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou mettre en ligne une autre image.

Foto yang ditilep

Middle Name | JAEWOO [END]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant