Alan melirik sekilas ke arah Jian yang sibuk termenung, kemudian sengaja melepas satu tangannya yang berada di kemudi untuk meraih tangan Jian yang menganggur di atas pahanya. Alan menyentuh punggung tangan Jian, kemudian menautkan jari-jarinya.
Seketika Jian mengerjap, menarik kepalanya untuk tak lagi bersandar lalu membalikkan telapak tangannya hingga membiarkan kedua tangan mereka saling menggenggam dengan sempurna.

Mereka masih tak bersuara sampai mobil Alan mulai masuk ke arah jalan yang tak Jian kenali. Mengarah ke sebuah jalan lurus beraspal halus, menuju daerah penuh penghijauan yang nampak tak terjamah oleh kehidupan para penduduk.

"Gemma pasti mencariku" Jian menggumam.

"Aku sudah memberitahu Ben" kata Alan.

Mobil yang mereka tumpangi akhirnya tiba di sebuah gerbang tinggi mengarah ke hutan yang di penuhi oleh ribuan pohon pinus. Hanya ada penerangan seadanya yang menerangi usai matahari terbenam dengan sempurna.

Alan membunyikan klakson, tak lama seseorang datang membawa lentera di tangannya, membuka gerbang itu lebar-lebar, memberikan akses mobil mereka untuk masuk.

Alan membuka jendela mobilnya lalu menoleh, bicara lembut pada sang penjaga "Aku ingin bermalam"

Samar-samar penjaga itu menjawab "Baik Tuan, akan kami siapkan"

"Terima kasih" ucap Alan kemudian menutup kembali jendela mobilnya lalu mulai menjalankan lagi mobilnya.

Siapkan apa?

"Kau mau meninggalkanku di sini?" Jian tidak serius. Matanya masih fokus pada pemandangan malam di tengah hutan. Bertanya-tanya dalam hati, hewan buas apa yang tersimpan di tempat ini?
Ada sedikit penyesalan, kenapa Jian hanya memakan sedikit canape, takut-takut makanan itu menjadi makanan terakhirnya.

Alan belum menjawab, ia masih mengendarai mobilnya, melaju dan masuk ke jalanan yang lebih kecil, memasuki jantung hutan dengan pepohonan yang semakin lebat.

"Untuk apa aku meninggalkan mereka jika akhirnya aku juga meninggalkanmu?" Alan menggumam, matanya fokus menjelajah hingga akhirnya menemukan rute yang ia kenali.

Alan akhirnya menghentikan mobilnya di sebuah area yang tidak banyak ditanami oleh pepohonan. Pemuda itu mengajak Jian keluar lalu meminta untuk mengikuti langkahnya. Mereka berjalan melalui jalan setapak memasuki kembali area hutan sepanjang 100 meter. Di penghujung jalan, Jian melihat sejuah bangunan yang membuat ia terkesiap—bangunan paviliun dengan dinding kaca yang dipadukan dengan dinding panel kayu birch klasik.

"Milikmu?" Tanya Jian sembari terperangah dengan halaman bebatuan paviliun yang tengah ia pijak.

"Milik Callum" jawab Alan, kemudian membuka pintu paviliun yang pintunya sudah tak terkunci lalu menyuruh Jian untuk masuk lebih dulu.

Jian mematung, menatap Alan penuh dengan keraguan. Alan hanya mengangguk, mengedikkan kepalanya menyuruh Jian untuk tetap masuk ke dalam memasuki paviliun yang beraroma khas kayu segar bercampur citrus.

"Lahan ini milik kakekku, kemudian Callum menjadikannya sebagai tempat rahasia kami. Tak semua orang bisa masuk" Alan menjelaskan setelah lampu ruangan menyala, memperlihatkan ruangan luas dengan interior klasik.

Mereka masuk ke ruang tengah—ruangan persegi dengan lantai kayu dan dinding kaca tanpa tirai, terdapat sofa panjang berhadapan dengan perapian dan rentetan meja hias yang terbuat dari kayu oak. Di sampingnya terdapat lemari pendek dengan pintu kaca berisi beberapa botol minuman yang masih penuh, seolah-olah memang disiapkan untuk siapa saja yang berkunjung.

Middle Name | JAEWOO [END]Where stories live. Discover now