Aster bisa datang kapan saja, tempat ini milik kekasihnya.

Jian sudah berada di depan celah pintu. Jantungnya terasa seperti berhenti berdetak saat itu juga. Ia berdiri membeku memperhatikan seseorang yang tengah duduk di tepi ranjang miliknya.
Seseorang itu kemudian menatap balik Jian dengan lemah, memperlihatkan wajah sendunya yang menyedihkan.

Alan.

"Meir" bahu Alan meluruh saat ia dengan jelas melihat seseorang yang sudah ia tunggu sejak tadi muncul di hadapannya.

Jian masih berdiri membeku, memperhatikan pemuda yang kini melangkah keluar dari kamarnya lalu hendak mendekatinya.

"Aku mengira aku tidak akan bisa bertemu denganmu lagi" mata Alan berkaca-kaca.

Tak sempat menghindar, Jian membiarkan pemuda di hadapannya memeluknya erat. Jian mengerjap tak membalas pelukan itu, ia hanya menunggu sampai akhirnya pelukan itu terlepas begitu saja.

"Kenapa kau bersikap seperti ini?" Jian berdeham, tenggorokannya tercekat.

"Aku berfikir kau pergi" Alan nyaris berbisik.

"Kenapa kau memperlakukanku seperti ini?" Suara Jian berubah parau padahal sudah sekuat tenaga ia berusaha menahan emosinya.

Air matanya tumpah.

"Kau mengabaikanku. Ku kira kau tak ingin mengenalku lagi. Aku bahkan sampai tidak tahu bagaimana caranya agar bisa bicara langsung padamu. Setiap hari aku memikirkan apakah kesalahanku sefatal itu? Aku khawatir orang yang sudah menolongku mengira aku adalah orang yang tidak tahu diri" nafas Jian tersengal, ia berusaha agar emosinya tidak pecah.

"Aku hanya sedang butuh waktu untuk meyakinkan diriku sendiri" Alan ingin kembali menyentuh Jian, namun ia menahannya.

"Kau tak yakin atas apa? Karena sudah bersedia menampungku di sini?" Jian menggumam.

Alan merasa dadanya seperti ditusuk. Ia menggeleng kecil lalu menatap Jian yang kini sekarang terlihat lebih terluka ketimbang dirinya.

"Tidak, tentu saja bukan" Alan menunduk "Meir, akan aku jelaskan semuanya"

Jian menggeleng "Aku lelah. Aku sangat lelah" Jian tak sanggup menatap Alan "Kau bisa menjelaskannya padaku besok. Ada hal yang ingin kusampaikan juga padamu" ia menggumam sembari berjalan masuk ke dalam kamarnya, lalu menutup pintunya.

Hampir pukul tiga pagi, Jian hanya ingin melakukan semua rencana yang sudah ia buat di sisa malamnya—mandi dan istirahat.

Kenyataannya tidak semudah itu. Jian bahkan sama sekali tidak bisa menutup matanya meskipun sudah menghabiskan waktu lebih lama untuk mandi berharap stressnya berkurang dan bisa langsung terlelap.

Hatinya terasa begitu mengganjal, Jian akhirnya beringsut, mengambil ponselnya lalu mengisi daya hingga ponsel itu kembali menyala dan aktif.
Tak lama pemuda itu terkesiap, ponselnya dipenuhi oleh puluhan pemberitahuan dalam satu waktu. 52 pesan. 38 diantaranya dari Alan.

Tubuh Jian meringkuk di lantai, duduk bersandar pada sisi tempat tidurnya lalu membaca pesan itu satu-persatu secara perlahan di dalam kegelapan.

|Alan
14:09 Meir, aku mencoba menghubungimu tapi ponselmu tidak aktif
14:10 Aku pulang
14:10 Aku dalam perjalanan menuju bandara
14:11 Aku pulang untukmu
14:11 Kau mau menungguku, kan? Aku ingin bertemu dan bicara langsung

|Alan
15:15 Aku sudah di bandara dan akan tiba dalam 2 jam. Sampai bertemu di Greeceland
15:18 Meir, aku merindukanmu.

|Alan
18:20 Meir, kau di mana? Aku sudah tiba di Greeceland, tapi kau tidak ada
18:21 Kau tidak perlu terburu-buru, aku akan menunggu sampai kau pulang

Middle Name | JAEWOO [END]Where stories live. Discover now