"Kau bilang dia temanmu" Nathan menimpali.
"Maksudku hanya sebatas teman, dia tidak berhak untuk mempersulit keputusanku" Jian menjelaskan.
"Jadi kalau lebih dari teman dia berhak untuk melarangmu?" Katrina menyeringai.
"Menurutku begitu. Meskipun kenyataannya harus pergi, tapi pasti tidak akan mudah. Memangnya siapa yang rela melepas dan jauh dari orang yang sudah kau anggap sebagai yang terpenting dalam hidupmu?" Jian mengedikkan bahunya.
"Bagaimana jika ternyata dia menahanmu?" Tanya Nathan, ada tawa kecil di akhir kalimatnya.
"Orang yang bahkan aku yakini menyayangiku saja rela melepasku apalagi orang yang memang bukan siapa-siapa"
"Siapa yang tega begitu?" Nathan berubah serius.
"Orang tua kandungku dan orang tua angkatku" Jian bicara sembari fokus menyendokkan smootie mangga yang mulai cair ke mulutnya.
Hening.
Jian sadar ucapannya membuat kedua temannya terdiam. Ia mengangkat wajahnya lalu memperhatikan Nathan dan Katrina bergantian, tatapan keduanya nampak merana, sementara Jian mulai tertawa.
"Kenapa? Aku tidak serius. Aku hanya membuat hal itu sebagai lelucon. Maaf jika menurut kalian terdengar menyedihkan, tapi aku sama sekali tidak merasakannya. Aku sangat bahagia dengan hidupku yang sekarang" Jian bicara dengan begitu santai, berusaha mengembalikan suasana canggung yang muncul karena dirinya sendiri.
Di luar masih hujan dan semakin deras ditemani kilatan serta bunyi gemuruh. Namun Jian dan kedua temannya tak ingin menunggu dalam bosan. Mereka akhirnya keluar dari restoran kecil itu—berlari mengendap, menerobos cipratan hujan ke sebuah bangunan di sebelahnya.
Classic pub.
Mereka tidak kesana untuk mabuk. Jian dan yang lain hanya minum tak lebih dari tiga gelas untuk menghangatkan tubuh, lalu kembali pulang saat hujan reda.
Bus akhirnya berhenti di sebuah halte yang berjarak 100 meter dari Greeceland. Jian turun, lalu mulai berjalan di atas jalanan yang sudah mulai kering setelah diguyur hujan.
Kesendirian itu datang lagi. Jian kembali ke realita yang membuat hidupnya hampa. Jian tersenyum sedikit, menernawakan dirinya sendiri—telah mengaku bahagia dengan hidupnya.
Siapa yang sedang ia bohongi dengan pernyataan bodoh seperti itu? Orang lain atau dirinya sendiri??
Jian menggeleng kecil lalu menghela nafasnya, meneruskan langkah lesu menuju Greeceland sembari menghitung langkahnya sendiri usai mengatur rencana di kepalanya. Dia akan mandi—tidur selama beberapa jam—bangun dan kembali bekerja.
Tak akan ada lagi agenda mengirim pesan untuk Alan, pemuda yang di sana sudah abai.
Staff penjaga mengangguk kecil saat Jian masuk, Jian membalas dengan sedikit senyuman sembari berjalan menuju pintu lift yang membawanya naik ke lantai 25.
Jian masuk ke dalam unit, membuka sepatunya yang basah lalu menyimpannya di rak paling ujung. Jian berencana akan mencucinya besok, tentunya jika Orion tidak membuatnya terlalu lelah dan pulang telat.
Ruang tengah masih gelap namun segaris cahaya terpantul menyorot ke luar, berasal dari lampu salah satu ruangan yang pintunya tak tetutup sempurna.
Arah mata Jian mengikuti sumber cahaya itu, cahaya yang berasal dari satu-satunya ruangan yang selama ini ia tempati,
Kamar tidurnya.
Jantung Jian mulai berdebar, ia melangkahkan kakinya perlahan-lahan menuju kamarnya, hati kecilnya sibuk menguntai kata, memikirkan alasan paling masuk akal jika kejadian yang sebelumnya pernah terjadi saat itu, terulang.
YOU ARE READING
Middle Name | JAEWOO [END]
Fanfiction"Untuk sementara jangan beritahu Gemma jika kita tinggal bersama" - Jian (Jungwoo) "Tolong pergi dulu kemana saja, aku dan Aster akan tiba di apartemen 10 menit lagi" - Alan (Jaehyun)
![Middle Name | JAEWOO [END]](https://img.wattpad.com/cover/364023965-64-k1257.jpg)