04. Micellar Water

868 121 17
                                    

Jika Leon adalah lumut, mungkin dia sudah membuat mobil dan seisi parkiran lumutan. Pasalnya, hampir satu jam Leon menunggu di parkiran kantor ayahnya, menunggu pria tua itu selesai dari rapatnya. Jika bukan ayahnya sendiri, sudah sejak tadi Leon memilih untuk pulang dibanding dengan harus berdiam di dalam mobil dan menunggu tanpa kepastian.

“Tunggu, bentar lagi ayah selesai.”

Itu pesan yang ayah kirimkan satu jam yang lalu, tapi sampai sekarang batang hitung ayahnya tidak terlihat sama sekali. Sudah berbagai hal Leon lakukan untuk mengusir rasa bosannya, mulai dari bermain game, merancang lagu baru, sampai menghitung pilar yang ada di parkiran. Sekarang, sudah habis kesabaran Leon untuk menunggu.

Dia tekan lagi icon hijau di kontak ayahnya. “Ayah! Jadi pulang gak? Katanya bentar lagi. Kalau masih lama, abang pulang aja lah!”

Tiba-tiba rapat dadakan. Tunggu bentar lagi.”

“Dari tadi bentar lagi. Kalau belum jam pulang, jangan minta dijemput.”

Kamu ini sama orang tua sendiri aja perhitungan! Pulang aja sana!

Leon tak bisa menipali lagi. Wajahnya langsung tertekuk sempurna. Dia matikan panggilan itu dan kembali masuk ke mobil sambil menghentak-hentakan kakinya. Dia bahkan membanting pintu mobilnya dengan kasar.

“Siapa yang perhitungan! Dasar tua bangka tukang marah-marah!” Leon menggerutu. Bibirnya mengerucut mirip ujung ikatan balon.

Mau tidak mau, Leon kembali menunggu. Entah sudah berapa ribu kali Leon menghela napasnya. Tak terhitung pula sumpah serapah yang Leon gumamkan di hatinya.

Sampai akhirnya ponselnya kembali berdering. Kali ini dari bunda.

“Halo, Bun. Kenapa?” tanya Leon sesaat setelah panggilan telepon itu dia terima.

Abang masih nunggu ayah?

“Iya, masih di parkiran. Belum selesai rapatnya.”

Sambil nunggu ayah selesai, bunda minta tolong. Di parkiran ‘kan ada Endomaret, tolong beliin micelar water, punya bunda udah abis soalnya. Mau minta tolong Lonnel, gak bakal bener, malah minta top up diamond.”

“Itu aja, Bun?”

Iya, itu aja.

“Apa namanya?”

Micellar water.”

“Beneran udah? Biar sekalian”

Sama bumbu instan rendang, Bang.”

“Oke.”

Sambil bergumam, “Micellar water sama bumbu rendang, micellar water, bumbu rendang,” Leon berjalan ke dudut lain di parkiran.

Masih di bawah basement yang sama, selain ada parkiran, di sana juga ada Endomaret dan beberapa tempat makan untuk keperluan karyawan di sana, makanya tak jauh Leon berjalan, dia langsung sampai di toko yang menjajakan berbagai macam produk itu.

Namun, baru saja satu langkah Leon masuk, bujang bermata sipit itu kembali terdiam. Dia menatap berbagai macam produk makanan dan kebersihan yang berjejer di depannya.

“Tunggu sebentar, micellar water apaan?” gumamnya.

Leon merogoh saku celananya, mencari ponsel untuk bertanya pada Mbah Gugel yang tahu segalanya. Wajah Leon kembali panik saat benda pipih dengan case hitam itu tak ada di sakunya.

“Malah ketinggalan,” gumamnya lagi.

Bukanlah Leon jika mau kembali ke mobil untuk sekedar mengambil ponsel. Bukan Leon pula jika haris menunjukkan ketidaktahuannya dengan bertanya ke pegawai toko. Dengan modal insting dan kepercayaan diri, Leon berjalan ke deratan minuman penyengar yang terpajang di lemari pendingin.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 18 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Bujang Kematian Kesayangan AyahWhere stories live. Discover now