03. Leon vs Sekolah

991 114 9
                                    

“Tempat pensil gue di mana, Woy! Kelas ini punya tukang nyolong, ya! Anjir dah, meleng dikit, langsung ilang. Heran!”

Di barisan pojok paling belakang, Leon hanya tersenyum miring sambil menggaruk hidungnya. Diam-diam, dia melirik kolong mejanya, menatap tempat pensil merah jambu yang sejak tadi dia sembunyikan.

“Ini seriusan! Tempat pensil segede gaban kagak ada yang liat!”

Suara cempreng Denis saat jam kosong adalah hiburan bagi Leon. Gadis manja berjilbab putih, si tukang ngomel itu memang paling rempong di kelas. Makanya, Denis selalu menjadi sasaran empuk kejahilan seorang Leon Jovandiro.

Sambil mendengarkan bagaimana Denis terus menggerutu mencari kotak pensil, Leon menatap lapangan sekolah melalui jendela samping mejanya. Sekarang belum waktunya istirahat memang, jadi di luar cukup sepi, kecuali kelas yang memiliki jadwal olahraga.

SMA Negeri 188 Jakarta menjadi sekolah yang Leon pilih. Tak ada yang spesial dari sekolah itu, kecuali jaraknya yang cukup jauh dari rumah. Daripada sekolah di swasta yang menguras otak Leon dan kantong Ayah, Leon lebih memilih sekolah negeri.

Biar Noel aja yang habisin duit ayah.

Itu candaan Leon saat meminta izin dari ayah dan bunda agar bisa sekolah di sekolah negeri. Ya, berbeda dengan adiknya, Noel, yang sekolah di sekolah mahal dari TK hingga SMA, Leon memang tidak cocok sekolah di sekolah elit. Apalagi dengan bahasa Inggris dan Mandarin yang menjadi bahasa sehari-hari di sekolah. Belum lagi dengan persaingan dan kurikulum yang tinggi. Mendapat nilai 85 di ulangan Bahasa Inggris saja sudah membuat Leon sangat bersyukur.

Ah, pada intinya, jangan paksa Leon untuk mengikuti jejak adiknya menghabiskan uang ayah. Leon sudah sangat menikmati kehidupan sekolahnya, terutama saat jam kosong dan keseruan menjahili Denis.

Setelah puas mendengarkan suara cempreng Denis, Leon kembali memutus pandangannya dari lapangan sekolah. Dia menatap Denis yang masih sibuk mencari kotak pensil dari meja ke meja.

“Betina, cari ini?!”

Leon mengangkat kotak pensil merah jambu bergambar idol K-pop di tangannya. Bujang bermata sipit itu tertawa puas sambil mengolok-olok wajah masam Denis.

“Anjing, Leon! Emang selalu lo biang keroknya.”

Denis berjalan dari bangku barisan depan, mendekati Leon yang sekarang menumpang kaki sambil membolak-balikan tempat pensil itu. Dia rebut kotak pensil itu dengan kasar.

“Dan satu lagi, nama gue Denis bukan betina.”

Leon menaikkan kedua alis tebalnya. “Tapi lo betina, ‘kan?”

“Nama gue Denis.”

“Nih, masalahnya kalo gue manggil lo Denis, Si Denis juga nengok.” Leon menatap temannya yang sibuk main game di bangku depan. Anak itu juga bernama Denis, beda kelamin saja kalau kata Leon. “Gue sih gak suka buat orang salah paham, ribet.”

“Bodo amat! Asal lo tau, gue benci sama lo, Leon!” Denis melengos, meninggalkan Leon dan tempat duduknya.

“Bagus! Setidaknya, perasaan lo gak bertepuk sebelah tangan,” sahut Leon.

Denis menoleh sambil mendelik, kemudian mengangkat kedua jari tengahnya dan dibalas finger love oleh Leon.

Denisa Putri Malik dan Leon Jovandiro dikenal sebagai Kucing dan Anjing di kelas XI MIPA 2. Tiada hari tanpa percekcokan dua bocah beda kelamin itu. Entah apa yang melatarbelakangi kedua anak itu terus bertengkar, semua orang hanya berharap keduanya berakhir dengan jatuh cinta. Meskipun, Leon dan Denis dengan kompak menjawab, “Amit-amit jabang bayi!

Bujang Kematian Kesayangan AyahTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon