6. Gerilya

49 7 4
                                    

"Setan!" Jian refleks berteriak karena kaget

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Setan!" Jian refleks berteriak karena kaget.

"Ya ampun, bar-bar bener. Kemarin udah ngatain aku orang gila, sekarang malah ngatain setan," ucap Lingga dengan raut sedih. Ia lalu mengambil kursi plastik di sebelah deretan lukisan lalu duduk sambil menyilangkan kaki di sana.

"Sialan, ngapain kamu ngikutin aku ke sini?" Jian berjengit. Matanya menatap tajam ke arah Lingga.

"Dih, pede bener." Lingga terkekeh. "Harusnya, tuh, aku yang nanya, ngapain kamu di sini? Mbolos lagi, ya?"

Jian membisu. Cewek itu kemudian berbalik memunggungi Lingga dan berjalan ke arah kasir. Ia mengeluarkan selembaran uang dari dompet setelah kasir menyebutkan nominal anting-anting yang ia kenakan.

"Eeh, mau ke mana?" seru Lingga tetap di posisi yang sama saat Jian hendak beranjak.

"Minggat!" ketus Jian tanpa menatap Lingga.

"Nggak jadi dibeli lukisannya?" Lingga tersenyum simpul. Ia lalu menyilangkan kakinya ke depan. "Tadi katanya bagus."

"Itu bukan urusan kamu. Mau aku beli, kek. Mau enggak, kek. Kamu gak usah ikut campur!" ungkap Jian sambil melirik malas ke samping.

"Oh, jelas jadi urusanku, dong!" Lingga menyangga kepala dengan kedua tangannya. Cowok itu menatap lukisan-lukisan di dekatnya dengan pandangan berbinar. "Karena kamu udah masuk dan ngeliat hasil karyaku," imbuhnya.

"What?" Jian terbelalak.

"Apa?" sahut Lingga.

"Diem, kamu. Aku juga tahu 'what' itu apa. Maksudku bukan itu," sungut Jian sambil menatap garang cowok di dekatnya.

"Ya emang 'what' itu apa? Aku nggak salah, kan?" Lingga memasang ekspresi tanpa dosa.

"Diem!" sungut Jian. "Demi Tuhan! Sial banget aku ketemu orang gila lagi di sini!" Jian mencengkeram kepalanya yang tiba-tiba terasa pusing.

"Itu artinya kita Afgan," celetuk Lingga masih dengan ekspresi polosnya.

"Maksudnya apaan?"

"Jodoh." Lingga terkekeh. "Kan, jodoh pasti bertemu."

Jian meraih lukisan dengan kanvas berukuran 50 x 70 cm bergambar bebek itu dan hendak melemparnya ke Lingga. Namun, belum sempat ia melakukannya, cowok itu langsung berdiri dan merentangkan tangan.

"Eeeh, maaf, maaf. Jangan lempar lukisanku, dong!" pinta Lingga dengan nada memelas.

"Bener, ini lukisanmu?" Jian menurunkan lukisan itu. Ia menatap intens manik mata Lingga untuk mencari celah kebohongan di sana. Namun, yang ia temukan nihil.

"Iya, tadi udah kubilang. Kamu malah what whot what whot aja," sambung Lingga.

Jian tak membalas. Matanya menatap lekat lukisan yang sedari tadi ia pegang. Entah mengapa seolah ada magnet kuat yang membuatnya tertarik pada benda dua dimensi itu. Barangkali lukisan itu memang membawanya pada kenangan bahagia bersama mendiang papa.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 15 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Lara di Ujung Senja Where stories live. Discover now