5. Awal yang Akhir (2)

50 20 15
                                    

Matahari perlahan mulai naik ke peraduan ketika Jian telah bersiap untuk memulai hari. Ia membenarkan posisi handsock yang dikenakan untuk menutupi seluruh lengannya. Pandangannya beralih pada sepotong roti isi yang tergeletak di pantries lalu melahapnya. Hidup sendirian di rumah peninggalan Papa, memaksa Jian untuk tumbuh mandiri.

Pantries itu terlihat bersih. Perabotan memasak tergantung di dinding dengan rapi. Semua bukan karena Jian yang rajin membersihkannya, melainkan cewek itu memang jarang menyentuh dapur untuk memasak. Ia lebih senang membeli makanan dari luar. Baginya, jika ada sesuatu yang lebih mudah mengapa harus bersusah-susah? Toh, Maharani juga tak perduli uang yang dikirim Jian pergunakan untuk apa.

Setelah melahap roti isi dan menenggak air, Jian menyambar tas di kamar dan berjalan keluar. Sejenak ia menatap ke arah cermin lebar di sana. Kantung gelap kecoklatan menggantung di bawah kelopak matanya. Sementara matanya terlihat sedikit memerah. Ia kemudian membubuhkan concealer tipis-tipis untuk menyamarkan kantung kecoklatan itu. Tak lupa ia menyugar sebentar rambut ikal panjangnya agar tak terlihat terlalu berantakan.

Jian lalu berjalan keluar. Daun pintu utama bercat cokelat dengan corak motif kayu itu terbuka sedikit. Sinar matahari menelusup melalui celah dan terpantul di kulit wajah cewek berambut cokelat tua itu. Namun, tiba-tiba raut wajahnya menggelap. Matanya berkilat-kilat begitu mendapati seseorang sudah berdiri di teras rumahnya.

"Ngapain lagi kamu ke sini?" tanya Jian dingin.

"Jian!" Cowok itu menegakkan badannya dan mendekat begitu Jian keluar.

"Minggir!" seru Jian tajam. Ia menepis lengan Dirga yang hendak menyentuhnya.

"Maaf soal kemarin," ujar Dirga sambil tetap mengekori Jian.

"Aku bilang minggir. Kupingmu budek, kah?" Jian menatap sinis ke arah Dirga.

"Dengerin aku dulu, Jian!" Dirga menatap Jian memohon.

"Ogah!"

"Aku mohon," pinta Dirga lagi.

"Kenapa? Udah nggak dibayar lagi sama mamaku karena aku udah tahu?" Ada rasa panas membara di dada saat Jian mengatakannya. Ia dapat merasakan jantungnya kembali berdetak dengan ritme lebih cepat dari jarum jam.

"Enggak, kamu salah paham." Dirga berkata pelan sambil menunduk. "Aku ... murni pengen temenan sama kamu."

Jian tertawa mendengarnya. Entah kenapa melihat Dirga memohon padanya seperti ini terasa aneh di matanya. Mungkin dulu ia akan bersorak kegirangan jika diperlakukan demikian. Namun, saat ini ia justru muak dengan sikap cowok di depannya itu. Dirga seolah ingin mempertahankan sumber penghasilan yang ia dapatkan; hubungannya dengan Jian di bawah pengawasan Maharani. Cowok itu mungkin takut jika Jian menjauh, maka Maharani akan berhenti mengirimkan uang.

"Kamu pikir aku bakal percaya? Bukannya selama ini kamu peduli ke aku karna uang?" sambung Jian dengan senyum sinisnya.

Perkataan Jian menohok telak Dirga. Cowok itu membeku di tempat. Air muka di wajahnya mendadak datar.

"Seenggaknya, bisa nggak, kita berangkat bareng? Aku nungguin kamu dari tadi." Dirga berkata lirih. Senyum getir terbit di bibirnya.

"Emang, aku nyuruh nungguin?" Jian bertanya.

"Bu—"

"Enggak, kan?"

Mulut Dirga seketika terkunci. Ia tak kuasa membalas ucapan cewek itu. Helaan napasnya terdengar berat. Cewek itu benar-benar telah membencinya. Tak ada ruang lagi bagi Dirga untuk Jian.

Bersamaan dengan itu, sebuah motor dengan pengendara berjaket hijau berhenti di depan rumah Jian. Cewek itu kemudian mengunci pintu lalu naik ke motor dan meninggalkan Dirga yang termenung seorang diri di teras rumahnya.

Lara di Ujung Senja Where stories live. Discover now