4. Awal yang Akhir (1)

70 35 14
                                    

Jian melangkahkan kaki memasuki sebuah warung mie ayam yang biasa ia datangi. Setelah berlarian karena ulah cowok aneh yang menyeretnya dalam kejaran preman membuat perutnya meronta-ronta meminta makanan.

"Anak sekolah sekarang pada bandel, ya. Bukannya sekolah malah mbolos," ucap salah seorang pengunjung yang duduk tak jauh dari Jian.

Awalnya, Jian lahap sekali saat makan mie. Namun, mendengar ucapan pengunjung yang secara tidak langsung ditujukan padanya itu membuat nafsu makannya menguap. Ia paling tidak suka jika orang membicarakannya dari belakang. Ciri-ciri orang munafik yang hanya berani adu pantat, tetapi tak berani menampakkan wajah.

"Lah, iya. Padahal sekarang sekolah udah enak. Dulu, kita kalau mau sekolah kudu jalan kaki jauh. Eh, anak sekarang udah dikasih duit malah mbolos," lanjut sebuah suara dari tempat yang sama.

Jian merogoh selembar uang dua puluh ribuan dan menghentakkannya di meja. Bunyi hentakan itu cukup keras hingga membuat pengunjung yang tadi membicarakan Jian tersentak kaget.

"Kasian banget. Pasti mulutnya gatel, ya? Sampe-sampe kalau enggak ngomongin orang, mulutnya enggak enak," ucap Jian sambil menatap sinis ke arah dua pengunjung ibu-ibu yang tadi menggunjingnya.

"Heh, yang sopan kalau ngomong sama yang lebih tua!" seru salah satu ibu-ibu dengan nada tinggi pada Jian.

"Sopan? Ibuk sendiri membicarakan saya dari belakang. Padahal Ibuk enggak ngerti kejadian yang sebenarnya, kan? Udah tua, harusnya banyakin ibadah bukan banyakin julidin orang. Malu sama uban, buk-ibuk!" sambung Jian tak mau kalah.

Setelah mengucapkan itu, Jian menyambar tas sekolah yang ia letakkan di kursi, dan berjalan keluar warung meninggalkan dua ibu-ibu yang langsung berlagak membisu.

"Nyebelin banget, sih. Bikin nafsu makan ilang, aja," gerutu Jian menahan emosi.

Matahari semakin bersinar terik. Jian menatap jalan raya dengan lalu lalang kendaraan di depannya. Sejenak ia bingung ingin melangkah ke mana. Ia tak mungkin pergi ke pusat perbelanjaan atau kafe. Mengingat saat ini masih termasuk jam sekolah. Bisa-bisa ia digelandang ke kantor polisi karena kedapatan membolos memakai seragam sekolah.

Sementara itu, ia tak mungkin kembali ke sekolah lagi. Sudah pasti ia akan mendapat hukuman. Mau tak mau, Jian terpaksa harus pulang ke rumahnya sendiri.

Jian memesan ojek online melalui ponselnya untuk pulang. Begitu ia sampai di depan rumah, ia melihat sebuah mobil MPV berwarna silver terparkir di depan rumahnya.

"Makasih, ya, Pak." Jian menyerahkan beberapa lembar uang kepada pengemudi gojek. Ia kemudian berjalan dengan santai masuk ke dalam rumahnya.

Jian hendak mengeluarkan kunci rumah dari tas, tetapi urung saat melihat celah kecil di antara pintu rumahnya. Rupanya ada yang sudah membuka pintu rumahnya. Dan ia sudah tak heran itu siapa.

"Dari mana kamu, Jian?" Sebuah suara sopran dari wanita paruh baya menyambut Jian saat cewek itu membuka pintu.

Jian tak menjawab. Ia lebih memilih mengabaikan wanita itu dan terus melangkah untuk menuju kamarnya sendiri.

"Jangan pura-pura budeg! Saya bicara sama kamu!" Gelegar suara itu terdengar lagi.

Mau tak mau Jian menghentikan langkah kakinya. Ia berbalik dan menoleh ke arah wanita paruh baya dengan dress navy selutut yang berparas mirip dengannya itu.

"Saya lagi gak pengen bicara," ungkap Jian tanpa mau menatap mata wanita di depannya.

"Kamu membolos sekolah, kan? Mau jadi apa kamu, Jian?" cecar wanita itu lagi.

"Ooh, cowok brengsek itu ngadu ke Mama, ya?" Jian tertawa sumbang. Sekarang ia mengerti kenapa mamanya datang ke rumah. Pasti cowok itu—bahkan Jian enggan menyebut namanya lagi—telah mengadu.

Lara di Ujung Senja Où les histoires vivent. Découvrez maintenant