Lima Belas

80 18 0
                                    

Empat hari sudah Gio tak masuk kafe, membuat Lily sangat yakin kalau alasan Gio tak masuk kafe karena ingin menghindar darinya.

Mungkin, Gio ingin menenangkan diri. Lily menghela napasnya panjang, dia melirik pada bagian kasir yang bisa selalu diisi oleh Gio apabila tak ada kasir yang menjaga di sana. Tempat itu yang selalu Lily lihat saat Gio masuk ke kafenya.

"Mbak, mau laporan, hari ini Gio gak masuk lagi."

Salah satu karyawannya kembali melapor, seperti hari-hari sebelumnya. Hari pertama Gio tak masuk, Lily mencarinya, kemudian menyuruh kepada karyawannya kalau Gio tak masuk langsung lapor ke dirinya. Gadis itu tak menyangka kalau kejadian hari itu membuat Gio sangat marah besar.

Dasar Lily bodoh, harusnya dia tak boleh terbawa suasana, belum lagi mengingat kalau Gio sudah memiliki kekasih.

Nomor Gio pun tak aktif. Ah, atau mungkin lebih tepatnya dia diblokir oleh Gio, pasalnya foto profil Gio pun tak ada, yang kemarin-kemarin awalnya ada foto Gio dan kekasihnya.

Lily
Gio, saya tahu kamu marah sama saya. Saya minta maaf, saya akan jauhin kamu. Maafin saya.

Gadis itu menatap layar ponselnya, Gio tak aktif. Kemudian Lily langsung keluar dari kafe, tanpa pamit pada karyawannya, lebih baik dia ke rumah Gio, mencari tahu tentang Gio yang tak masuk kafe beberapa hari ini.

Lily mengendarai mobilnya, menuju rumah Gio. Kurang lebih lima belas menit, dia sampai tepat di depan Gio. Rumahnya sepi, bahkan terlihat tak ada tanda-tanda orang di dalam, sementara waktu saat ini masih menunjukkan pukul delapan malam.

Namun, gadis itu tetap ingin mencobanya, mungkin saja Gio ada di dalam. Lily langsung keluar dari mobilnya, menuju rumah Gio. Rumahnya sederhana, tak sebesar rumahnya, tapi Lily yakin di dalam pasti sangat nyaman. Walau cat rumah ini sudah usang, pekarangan rumah begitu bersih.

Tak mau terlalu menikmati pekarangan rumah Gio yang bersih, Lily langsung mengetuk pintu rumah Gio, berharap Gio keluar.

"Assalamualaikum, permisi."

Pada ketukan pintu yang pertama, tak ada respon, Lily juga tak langsung menyerah begitu saja. Dia kembali mengetuk pintu serta mengucapkan salam. Ketika ketukan ketiga, pintu terbuka, memunculkan gadis remaja dengan pipi yang berisi.

"Waalaikumsalam, cari siapa, Kak?"

Zee adalah orang yang menyambut Lily. Melihat kesopanan Zee padanya, membuat Lily tersenyum kecil.

"Gio ada?" tanya Lily.

Wajah Zee seketika murung saat tahu kalau Lily mencari kakaknya. Menyadari perubahan mimik wajah Zee, membuat Lily seketika merasa bersalah.

"Eh, maaf, Gio mungkin lagi gak mau diganggu, ya? Dia—"

"Kak Gio di dalam kamarnya, cuma aku gak bisa panggilin, kak Gio masih marah sama aku," tutur Zee membuat kening Lily mengernyit heran.

"Semua orang pasti buat kesalahan besar yang sulit dimaafkan, tapi suatu saat pasti akan dimaafkan, kok," ucap Lily malah semakin membuat Zee murung.

"Memangnya kesalahan besar yang udah aku perbuat akan dimaafkan? Bahkan kesalahan ini malah bikin mama juga kecewa," balas Zee.

"Kamu pasti belum minta maaf, coba minta maaf dulu," kata Lily.

Zee yang tadinya menunduk, kini mendongak, menatap Lily yang tersenyum kecil padanya. Apa yang akan Lily katakan setelah tahu kalau dia hamil di luar nikah.

"Masuk dulu, Kak. Aku buatkan minum, kita ngobrol di dalam" kata Zee.

Sepertinya bercerita dengan teman kakaknya ini lebih baik daripada dia harus bercerita dengan temannya sendiri.

"Di sini aja, takutnya nanti Gio malah marah. Gak usah buatin saya minum."

Zee pun mengangguk, menuruti perkataan Lily, kemudian mengekori Lily yang duduk di anak tangga.

"Kak Lily teman kampusnya kak Gio?"

Lily menggeleng, lalu tersenyum kecil.

"Saya teman kerjanya," jawab Lily

Zee mengernyit heran. Teman kerja Gio? Gadis itu menatap pada kendaraan yang ada di depan rumah mereka, pasti itu milik Lily. Kemudian Zee melirik Lily, meneliti penampilan Lily. Semua yang Lily pakai terlihat barang mahal, sangat mustahil kalau Lily bekerja di kafe tempat kakaknya bekerja juga.

"Punya mobil?"

"Kenapa memangnya?"

"Berati Kak Lily anak orang kaya yang bosan jadi orang kaya, ya? Makanya kerja di kafe."

Ucapan polos Zee membuat Lily tak bisa menahan tawanya. Pikiran macam apa itu?

"Lebih tepatnya saya yang punya kafe," balas Lily.

Zee terkejut. "Eh, maaf banget. Zee berdosa karena biarin bos kak Gio duduk di sini."

"Gak pa-pa."

"Kenapa cariin kak Gio?"

"Gio udah empat hari gak masuk kerja, saya khawatir sama dia," ungkap Lily.

Wajah Zee kembali murung saat menyadari kalau kakaknya tak masuk kerja karena dirinya. Apa kakaknya akan dipecat? Zee menyesal karena tak mendengarkan perkataan kakaknya, sangat menyesal.

"Kak Gio mau dipecat ya? Tolong jangan pecat kak Gio, dia gak masuk kerja karena Zee buat masalah di keluarga. Kak Gio kerja demi mama," kata Zee memohon pada Lily.

"Semoga masalahnya cepat selesai, Zee. Saya tahu kamu mampu."

Zee menggeleng, lalu berkata, "Aku gak yakin mampu jadi ibu muda, Kak."

"Hah?"

"Aku hamil. Dua minggu lagi akan menikah. Aku udah buat mama sama kak Gio kecewa," jelas Zee.

Tak tahu kenapa, dia dengar begitu mudahnya menjelaskan apa yang terjadi padanya dengan Lily. Mungkin karena pemikiran Lily yang dewasa sehingga Zee nyaman bercerita dengan Lily.

"Maafin aku, tolong jangan pecat kakak aku, Kak. Kak Gio tulang punggung keluarga."

"Enggak, Zee. Kakak kamu tetap kerja sama saya."

Ya Tuhan, Lily tak tahu kalau masalah yang Gio lewati saat ini sangat berat. Dia tahu kalau Gio sudah tak memiliki ayah, tapi dia tak tahu kalau Gio merupakan tulang punggung keluarga. Pasti sangat berat menjadi Gio.

***

Uhuyyyy aku update lagi

Btw besok part terakhir bakal update, sekaligus epilognya. Ditunggu yah

Jangan lupa tinggalkan jejak

Bye bye

Promise Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang