Empat

596 47 12
                                    

"Kamu yakin berhenti kuliah?" tanya Vidia pada sang anak.

Wanita itu baru mengetahui kalau anaknya berhenti kuliah setelah diceritakan oleh Zee, kalau saja Zee tak bercerita soal Gio yang berhenti kuliah, mungkin saja Vidia masih akan berpikir kalau Gio kuliah dengan rajin. Pasalnya, tiap pagi wanita itu selalu melihat Gio memakai tas jika keluar dari rumah.

"Iya, keputusan aku udah bulat, Ma," jawab Gio.

Pria itu yakin, mamanya pasti akan memaksa dia untuk kembali kuliah, membuat pekerjaan akan terganggu, maka dari itu Gio menjawab dengan mantap walau sebenarnya dia beberapa kali bertanya-tanya apakah keputusannya sudah benar.

"Rugi, Kak. Ini kamu udah semester tiga, kan?"

Gio menggeleng cepat, merasa hal tersebut tak rugi kalau alasan dia berhenti kuliah demi keluarganya. Mungkin lebih rugi dengan orang yang berhenti kuliah dengan alasan yang mungkin kurang logis. Namun, membuat Vidia menghela napasnya panjang, merasa kalau apa yang dia lakukan untuk membujuk anaknya akan sia-sia, Vidia sama sekali tak mau anaknya menanggung beban seberat ini sementara dia merasa masih mampu untuk bekerja, masih mampu untuk mencari nafkah dan biaya anak-anaknya. Kedua anaknya hanya perlu bersekolah setinggi mungkin, tanpa memikirkan biaya mereka.

"Gak rugi, Ma."

"Uang buat bayar kuliah kamu tuh rugi kalau gak dipakai," balas Vidia. Dia masih berusaha untuk membujuk anaknya.

"Ilmunya udah aku dapat, gak ada yang rugi. Aku kerja untuk kita, untuk pengobatan Mama, untuk sekolah Zee, untuk biaya kita sehari-hari," jelas Gio.

Kalau dia tak menjelaskan segara detail, mamanya pasti akan terus membujuknya. Gio yang tadinya duduk di lantai seraya menonton televisi, berpindah duduk di samping mamanya yang duduk di sofa. Dia sebenarnya hari ini lelah sekali karena hari Minggu ternyata banyak pelanggan yang datang walau masih pagi hingga waktu shiftnya selesai.

Empat hari sudah Gio berkerja di kafe tempat dia diterima bekerja, dan kemarin dia mendapatkan shift pagi, seminggu setelahnya akan shift malam. Pria itu harus memberitahu pada kekasihnya, setelah dia diterima bekerja, Gio sudah tak menghubungi Asti, dia terlalu sibuk bekerja, dan ketika pulang dia sudah sangat kelelahan.

"Zee harus sekolah tinggi, Ma. Dia harus sukses, biar aku yang kerja, Mama gak perlu," lanjut Gio.

Pria itu mengecup singkat kening mamanya, kemudian pamit ke kamar. Dia sepertinya harus menghubungi sang kekasih yang beberapa hari ini dia lupakan, bukan berarti Gio sudah tak memiliki perasaan pada Asti.

Sesampainya di kamar, Gio langsung menghubungi Asti melalui video call, saking terlalu rindu dengan kekasihnya. Hal pertama yang Gio lihat adalah wajah cemberut kekasihnya, terlihat begitu lucu dengan bibir mengerucut, serta mata yang menatap Gio sinis walau sedang memakai kacamata.

"Iya, aku tahu kamu marah sama aku, Sayang. Maafin, ya, aku lupa hubungi kamu akhir-akhir ini, sibuk banget di tempat kerja," tutur Gio. Pria itu tak perlu mendengar pertanyaan atau bertanya kenapa sang kekasih, dia langsung menjelaskan begitu melihat ekspresi Asti.

"Nyebelin banget sih kamu, aku kan khawatir sama kamu. Sampai aku minta sama papa untuk kasih kamu kerjaan" balas Asti membuat Gio tertawa kecil.

"Aku udah dapat kerja, udah empat hari, Sayang. Maafin aku gak cerita, sibuk banget di tempat kerja," ulang Gio.

"Kamu kenapa gak cerita sih? Aku sampai mikir kamu udah lupain aku."

"Ya kali, Sayang. Dapatin kamu itu susah, apalagi ingat bagaimana kasta kita berdua."

Membahas soal kasta, Asti sungguh membenci apabila Gio sudah bahas hal seperti itu. Ayah Asti seorang pemilik beberapa hotel, sementara ayah Gio hanyalah kuli bangunan yang kebetulan memiliki job yang cukup lancar tiap bulannya. Padahal ayah Asti sama sekali tak mempermasalahkan hal tersebut, bahkan ayah Asti menerima hubungan Asti dan Gio.

"Sekali lagi kamu ngomong soal kasta, aku gak mau ngomong sama kamu," ancam Asti membuat Gio meringis pelan. Dia melupakan hal tersebut.

Pria itu memperbaiki letak ponselnya, kemudian membaringkan tubuhnya dia ranjang kecil yang muat untuk Gio seorang, lalu kembali menatap pada layar ponselnya yang menunjukkan wajah Asti. Gio tersenyum bahagia, tak menyangka kalau sang kekasih mau menerima dia apa adanya.

"Aku capek banget," rengek Gio memperlihatkan sisi manjanya pada Asti. Sisi hanya hanya bisa dilihat keluarga Gio dan Asti, sisi manja Gio yang sangat disukai Asti.

"Kamu kerja di mana emangnya?"

"Aku kerja di Skystar. "

"Kafe baru yang viral itu?" Mata Asti melotot tak percaya mendengar jawaban Gio, kafe viral yang sedang banyak pengunjungnya setelah kemarin mendapatkan review terbaik dari salah satu influencer terkenal di kota mereka.

"Emang viral, ya?"

"Kamu gak tahu? Itu lagi rame loh. Katanya makanannya enak plus murah, Instagrameble, Gio."

Mata Asti yang berbinar menceritakan hal tersebut membuat Gio tersenyum kecil, bahagia melihat kekasihnya bahagia.

"Nanti aku ajak kamu ke sana, mau?"

"Serius?"

Gio mengangguk cepat, lalu menjawab, "Iya, Sayang."

Selain melihat kebahagiaan keluarganya, melihat kebahagiaan Asti juga merupaka hal yang paling Gio nantikan.

***

Yahoooooo

Ada yang nungguin cerita ini gak?

Gimana sama part ini?

Jangan lupa tinggalkan jejak yah

Btw, spam next aku tunggu

Bye bye

Promise Where stories live. Discover now