Dua

762 56 1
                                    

Setelah beberapa hari tak masuk kuliah, Gio kembali masuk, disambut oleh teman-teman sekelasnya juga Asti yang bahagia melihat sang kekasih kini mulai baik-baik saja. Tak henti-hentinya Asti tersenyum, dengan mata berbinar menatap Gio yang duduk di sampingnya. Duduk di gazebo berdua dengan Gio seperti ini sudah cukup membuat Asti bahagia.

“Akhirnya pacar aku kuliah juga, aku kangen banget,” ucap Asti dengan nada manjanya, membuat Gio terkekeh geli mendengar nada manja Asti.

“Perasaan kamu tiap hari video call aku, deh,” balas Gio.

Balasan dari Gio membuat Asti mencibirnya, Gio seperti tak bisa merasakan bagaimana rasanya tak bertemu setelah beberapa hari walau mereka sering video call, rasanya itu berbeda antara sering video call walau tak bertemu, rindu di dadanya seakan ingin keluar saat itu juga.

“Aku itu lagi menghibur kamu kemarin, tapi pas video call kamu juga malah banyak diam. Zee lebih kuat.”

Ekspresi wajah Gio berubah cemberut, dia tak suka dibandingkan dengan adiknya, tak mau adiknya lebih dari dia. Gio selalu berpikir, dia seorang kakak, jadi dia harus lebih unggul dibandingkan adiknya, dia harus bisa menjadi kakak yang selalu diandalkan dalam segala hal oleh adiknya.

“Aku ngambek, ah,” ujar Gio.

Bukannya takut Gio benar-benar kesal padanya, Asti malah tertawa karena melihat wajah cemberut sang kekasih. Gadis itu bertanya, “Emang ada orang ngambek bilang-bilang?”

“Biar bisa kamu bujuk, Sayang,” jawab Gio.
Lagi, Asti tertawa dengan jawaban Gio. Kalau mau dibujuk, barangkali Asti tiap hari membujuk Gio agar Gio mau jalan-jalan bersamanya, makanya Gio sering kali membuat dia kesal dengan pura-pura berpikir untuk diajak jalan. Gadis itu memukul pelan pundak Gio, membuat si empunya ikut tertawa.

“Sekarang ganti topik pembicaraan kita, aku mau tanya satu hal sama kamu.” Asti kini mulai serius, membuat Gio berdeham pelan seraya memperbaiki letak duduknya yang terasa tak nyaman.

“Apa?” tanya Gio pelan.

“Kenapa datang ke kampus setelah kelas selesai? Kenapa gak datang dari pagi? Kenapa kamu datang gak bawa tas atau buku? Kenapa datang cuma pakai baju santai padahal biasanya selalu pakai kemejanya?” Asti memberondong Gio dengan banyak pertanyaan, sampai membuat Gio meringis mendengar pertanyaan Asti yang cukup banyak. Jelas saja itu membuat Gio tak tahu harus bagaimana menjawabnya.

“Pertanyaannya sama kayak jawab soal matematika, ya?” Gio menggaruk kepalanya, tak tahu harus menjawab bagaimana dengan pertanyaan Asti.

“Kan bisa dijawab satu-satu,” balas Asti.
“Kamu aja yang nanya satu-satu, biar aku bisa jawab satu-satu juga,” pinta Gio.

Asti berdecak kesal mendengarnya, walau begitu kekasihnya Gio ini tetap menuruti perkataan Gio untuk bertanya satu per satu.

“Kenapa baru datang setelah kelas selesai?”

“Aku datang cuma mau ngobatin kangen kamu,” jawab Gio seraya tersenyum manis, menjaili sang kekasih yang kini kesal mendengar jawabannya.

“Aku serius, Gio.”

“Pertanyaan kedua, Sayang.”

Gadis itu menghela napasnya saat Gio tak mau menjawab pertanyaannya dan malah meminta untuk diberikan pertanyaan kedua. Asti jelas saja penasaran, kenapa sang kekasih malah datang setelah kelas selesai.

“Kenapa gak datang dari pagi?”

“Kan udah aku jawab tadi.”

Jawaban Gio yang kedua ini membuat Asti mencoba menahan untuk tak kesal atau bahkan memukul wajah Gio saat ini, dia berusaha untuk tak terpancing emosi.

“Kenapa gak bawa tas atau buku?”

“Perasaan udah aku jawaban di pertanyaan pertama, deh.”

“Kamu bisa serius gak, sih? Aku tuh mau jawaban serius kamu,” protes Asti saking kesalnya dengan Gio.

“Aku udah serius tadi. Kamu mau diseriusin?”

“Gak nyambung!” pekik Asti kesal.

“Lanjut aja, Sayang.”

“Kenapa datang cuma pakai baju santai?”

Gio tersenyum, beruap untuk menjawab pertanyaan Asti, tetapi ketika melihat mata Asti yang melotot padanya, membuat Gio meneguk ludahnya susah payah dan harus menjawab dengan benar hari ini.

“Selain ngobatin rasa kangen aku sama kamu, aku mau lihat-lihat suasana kampus untuk terakhir kalinya,” jawab Gio. Kali ini benar-benar serius, terbukti dengan sang kekasih yang menatap lurus ke depan, tepatnya pada gedung kelas yang di mana para mahasiswa berlalu-lalang di koridornya.

Namun, jantung Asti benar-benar tak aman mendengar jawaban Gio, berdetak dua kali lebih kencang. Apa Gio akan pergi meninggalkannya? Lalu bagaimana dengan dirinya kalau Gio benar-benar pergi?

“Kamu mau ke mana?”

Gio menoleh pada sang kekasih yang duduk di sampingnya, kemudian berkata, “Gak ke mana-mana, Sayang.”

“Terus?”

“Aku bakal berhenti kuliah mulai besok,” jawab Gio.

“Aku gak salah denger, ‘kan? Gio, kamu udah semester tiga loh ini, kamu udah setahun kuliah.” Asti sungguh tak percaya kalau kekasihnya akan berhenti kuliah, padahal Asti sangat tahu kalau Gio begitu ingin kuliah karena memiliki mimpi yang harus dikejar.

“Kamu gak salah denger, aku beneran bakal berhenti kuliah.”

“Mimpi kamu? Kamu mau bilang kamu mau jadi dosen, ‘kan?”

“Aku harus kerja, Ti. Papa udah gak ada, mama sakit-sakitan, Zee masih SMA, kamu butuh biaya untuk hidup sehari-hari.”

Asti menggeleng pelan, dia tak setuju kekasihnya merelakan mimpinya. Asti sama sekali tak mempermasalahkan Gio yang ingin berhenti kuliah untuk membiayai keluarganya, hanya saja Asti tak setuju dengan Gio yang merelakan mimpinya. Bukankah bekerja sambil kuliah juga bisa? Kenapa harus berhenti kuliah?

“Kerja sambil kuliah bisa juga, ‘kan? Kamu bisa part time,” bujuk Asti. Mata gadis itu kini berkaca-kaca, menandakan kalau dia sebentar lagi akan menangis.

“Kerja part time belum tentu bisa dapat gaji yang banyak, Asti. Aku butuh uang untuk pengobatan mama, sekolah Zee, sama makan kami sehari-hari. Kalau aku kuliah, bagaimana caranya aku bayar semua itu? Aku udah pikirin matang-matang, keputusan aku yaitu berhenti kuliah.”

“Aku bantu kamu kerja, ya?” tawar Asti. Kenapa nasib sang kekasih begitu malang?
Gio menggeleng, menolak tawaran Asti. Mana mungkin dia membiarkan Asti membantunya untuk menghidupi keluarganya, sementara dia dan Asti hanya berstatus sepasang kekasih.

“Kamu cukup kuliah yang rajin. Gak boleh bolos mata kuliah, biar nanti bisa cepat lulus. Semangat, Sayang.”

Keputusan Gio sudah bulat, Asti juga tak bisa berbuat apa-apa selain mendoakan Gio. Kekasihnya ini anak yang kuat, Asti yakin itu.

***

Yahoooooo

Aku up lagi nih

Gimana sama part ini? Jangan lupa spam next yaaa

Vote dan komennya aku tunggu

Btw follow Instagram @huzaifahsshafia

Bye bye

Promise Where stories live. Discover now