Sembilan

76 14 2
                                    

Gio menatap heran pada adiknya yang berjalan pelan, sesekali meringis juga. Selepas pulang dari rumah Asti, Gio langsung ke dapur membersihkan semua piring kotor serta mencucinya, bertepatan juga dengan adiknya yang datang mengambil minum.

"Jalan kamu kenapa kayak gitu? Kayak nahan sakit," tanya Gio membuat Zee menegakkan tubuhnya.

"Hah? Gak pa-pa, kok. Kak Gio salah lihat, kali."

Gio mengernyit, kemudian meneliti tubuh adiknya. Pelipis Zee mengeluarkan keringat sangat banyak, padahal menurut Gio saat ini sama sekali tak gerah, selain itu wajah Zee terlihat pucat.

"Kenapa sih kamu?"

Zee berdecak kesal, kemudian menggeleng pelan, membuat Gio semakin heran pada adiknya. Tak biasanya Zee diam saja saat dia sakit, adiknya itu terbilang manja kalau saat sedang sakit, batuk biasa saja sudah manjanya tak bisa ditolong, bagaimana dengan ini.

"Sakit, ya? Besok kita ke Puskesmas, deh."

"Aku gak pa-pa, Kak. Emang Kak Gio aja yang lebay. Aku baik-baik aja," balas Zee.

"Terus kenapa jalannya kayak nahan sakit gitu?" tanya Gio masih mengulik soal adiknya yang berjalan seraya menahan sakitnya.

"Habis terkilir, ya?"

"Enggak!" jawab Zee cepat, kemudian meninggalkan Gio. Jalannya sudah normal seperti biasa, tetapi ketika Zee sudah cukup jauh dari Gio, jalannya kembali sedikit pincang, seperti tadi saat Gio melihatnya dan itu sama sekali tak lepas dari penglihatan Gio.

Bukankah adiknya terlihat aneh?

***

Gio baru berniat untuk membuang sampah di tempat pembuangan sampah, tetapi pria itu melihat atasannya sedang berdiri di pinggir jalan dengan tatapan kosong. Selain itu Lily terlihat sama sekali tak menyadari apa saja yang ada di sekitarnya.

Kalau Lily maju lagi selangkah, bisa saja dia akan tertabrak dengan kendaraan. Namun, Gio heran, tumben sekali atasannya itu datang lebih awal di kafe, biasanya datang saat pukul dua belas siang paling cepatnya,  saat ini masih pukul tujuh pagi, di kafe pun hanya ada Gio dan satu orang rekan kerjanya.

Gio terus melihat pada atasannya itu, Lily terlihat memikirkan banyak hal. Namun, tak berapa lama, Gio menyadari satu hal, atasannya pernah bercerita soal masalahnya walau tak banyak, membuat Gio sadar kalau Lily ingin melakukan hal bodoh pagi ini.

"Sialan!"

Pria itu berlari, menghampiri Lily, sebelum benar-benar ada mobil ataupun motor yang lewat, Lily harus diselamatkan. Ketika sudah sampai di depan Lily, Gio langsung menarik Lily menjauh dari jalanan.

Perlakuan Gio membuat Lily memberontak, bahkan kini sudah menangis sejadi-jadinya lantaran Gio menarik dia. Suara tangis Lily begitu keras, sampai membuat Gio tak kuasa mendengarnya, hal yang paling dibenci Gio adalah mendengar tangis seorang wanita. Tak tahu harus berbuat apa untuk menenangkan atasannya, Gio memeluk Lily erat, mencoba menenangkan Lily dengan pelukan, tangannya juga bergerak mengelus lembut rambut Lily.

"Kenapa kamu tolongin saya? Harusnya kamu biarin aja saya mati, Gio."

"Nanti kalau Ibu ketabrak, saya yang jadi saksinya," balas Gio.

Dia berusaha untuk menghibur Lily, sayangnya malah membuat Lily kembali menangis kencang, dan kali ini memeluk Gio erat.

"Kenapa kamu baik sama saya? Semua orang di rumah saya jahat sama saya," ucap Lily membuat Gio menghela napasnya panjang.

Sebenarnya masalah apa yang dihadapi oleh atasannya ini?

"Pertama, Bu Lily atasan saya. Kedua sebagai rasa kemanusiaan, saya menolong Ibu. Ketiga, saya gak mau nantinya menyesal karena udah biarin Ibu bunuh diri," jawab Gio.

"Mereka jahat, Gio. Orang di rumah saya jahat, mereka rela terima uang banyak dari laki-laki bejat dan membiarkan saya menikah sama dia. Saya gak mau, tolong saya, Gio. Tolong," tutur Lily.

Gio tak membalas, tetapi tetap memeluk Lily.

"Biarkan saya mati, biar saya gak nikah sama laki-laki itu, saya gak mau sama laki-laki itu, Gio."

"Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya, Bu. Saya yakin itu," ucap Gio.

Lily tak membalas ucapan Gio, dia diam saja dan tetap menangis di pelukan Gio, lalu gadis itu melepaskan pelukannya pada Gio, menatap Gio dengan mata yang sembab, wajahnya juga basah karena air mata, dan sedikit ada cairan yang keluar dari hidungnya. Oh, selain itu baju Gio juga basah karena dirinya.

"Tolong jadi penguat saya, Gio. Tolong tetap ada di samping saya untuk melewati semuanya. Sepertinya saya butuh kamu, saya butuh orang yang cukup dewasa untuk menolong saya."

Gio tak tahu harus apa saat ini, tetapi kepalanya tetap mengangguk, dia melupakan hal yang akan terjadi nantinya. Namun, tujuan pria itu demi mencegah Lily melakukan hal bodoh. Gio saja, walau dia putus asa, dia sama sekali tak memiliki niat untuk mengakhiri hidupnya.

"Bunuh diri itu bukan jalan tepat yang bisa menyelesaikan masalah. Coba berpikir dengan tenang," tutur Gio.

Lily yang mendengar itu menelan ludahnya susah payah. Benar apa yang dikatakan Gio. Bunuh diri bukan jalan tepat yang bisa menyelesaikan masalah

***

Yahoooooo

Gimana-gimana sama part ini?

Gio punya dua janji sama dua cewek nih 🤣

Spam nextnya aku tunggu

Jangan lupa tinggalkan jejak yah

Bye bye

Promise Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang