0,8

77 10 0
                                    

Happy reading...

★☆★

Shaka sengaja berangkat lebih pagi. Bukan karena piket kelas tapi ia hanya ingin menghindari Ayahnya. Anak itu mengendarai motor sportnya. Ia sangat menikmati semilir angin pagi hari. Semalam memang tidak hujan, namun udara pagi itu cukup sejuk. Terlebih Shaka hanya mengenakan cardigan tipis.

Remaja itu berbelok ke arah rumah sakit. Bangunan yang sering ia kunjungi untuk bermain dengan pasien anak-anak di rumah sakit. Atau hanya sekedar menenangkan pikiran di taman. Ia berjalan santai memasuki lorong rumah sakit tersebut. Shaka sengaja memakai masker hitam dan topi hitam.

Shaka berhenti di perempatan lorong lantai tiga. Matanya melirik ke kanan. Ia kemudian berbelok ke kanan semakin ia berjalan lebih dalam, dia merasa aura yang berbeda.

"Kamu harus bertahan, Nak! Maafin Mamah."

Suara bisikan itu mengalun di pengendengaran Shaka. Kembali menghentikan langkahnya. Matanya menangkap dengan jelas sosok perempuan di depan pintu ruang rawat.. Tak hanya ada dia, ternyata ada seseorang yang dikenalnya.

"Bang Natha? Ngapain ada di sini?" Batinnya bersuara.

Shaka berjalan seakan tidak mengenali mereka. Namun aura dinginnya seperti mengikutinya. Ia membiarkannya tanpa peduli. Tangannya meraih hendel pintu yang tersambung dengan tangga rumah sakit.

"Tunggu! Kamu bisa lihat saya kan?"

Lagi dan lagi, Shaka berhenti. Ia menutup pintu tersebut cukup keras. "Ngapain kamu ikutin saya?"

"Kamu beneran bisa lihat saya?"

Shaka menghela nafas lelah. Ia membalikan badannya. "Iya saya bisa lihat kamu."

Sesosok wanita cantik namun terlihat pucat itu menatap Shaka dengan penuh binar. "Saya ingin meminta tolong sama kamu. Tolong-"

"-Maaf, saya tidak bisa." Potong Shaka cepat. Ia kemudian kembali melanjutkan jalannya.

"Tunggu! Tolong, saya mohon!"  Wanita itu memohon pada Shaka.

Dengan berat hati Shaka menghadap si wanita itu. Ia berhadapan dengan perempuan berparas cantik tersebut. "Untuk hal apa?"

Si wanita tersenyum lebar. "Tolong bantu anak saya, sebelum saya benar-benar pergi."

"Maksudnya?" Bingung Shaka.

"Saya Mamahnya Milan. Sepertinya dia masih belum bisa merelakan saya untuk pergi. Kamu bisa bantu saya, kan?" Mohonnya lagi, namun kali ini tidak ada unsur paksaan.

Shaka membulatkan matanya. "Jadi kamu Mamahnya Bang Milan?"

Senyum perempuan itu sedikit memudar. "Kamu kenal anak saya?" Shaka mengangguk tanpa menjawab.

"Saya Callista Elena Anagatha, ibu kandung dari Janardana Milan Anagatha. Sepertinya kamu bisa tau penyebab kematian saya." Ucapnya sembari tersenyum tipis.

Shaka menggeleng pelan. "Tunggu, nggak mungkin! Saya baru pertama kali lihat kamu. Dan itu hari ini."

"Wajar kamu tidak melihatnya, saya hanya mengawasi Milan dengan bantuan arwah yang lain." Callista terkekeh pelan.

"Sekarang saya paham kenapa banyak arwah anak kecil di sekitar Bang Milan." Gumamnya pelan.

Callista menganggukpelan. "Jadi, kamu bersedia untuk membantu saya, kan?" Callista kembali memastikan.

Si pemuda menggunakan kepada setuju. "Saya bisa membantu Anda."

"Terima kasih banyak. Oh iya, ngomong ngomong kamu punya mata yang indah." Puji Callista di akhir kalimat.

GRAHITA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang