Build a Good Image, Right?

254 47 6
                                    

Sebelumnya dapat 14 ya, tapi sebagian adalah reply komenku.
Ayo sekarang bisa 15, pure komentar kalian

Selamat membaca!

Membangun citra baik di hadapan publik pada dasarnya adalah hal yang wajar dilakukan oleh semua orang. Rasanya tidak akan mungkin ada seseorang yang ingin dicap buruk oleh orang lain, meski faktanya demikian. Manusia punya kecenderungan untuk mempertahankan nilai dirinya di depan orang lain, tidak peduli dengan atau tanpa maksud terselubung sekali pun. Namun dalam kasus yang sedang aku alami sekarang, aku tahu betul bahwa tujuan orang yang sedang tersenyum lebar di antara anak-anak itu adalah demi melancarkan jalannya untuk maju menjadi walikota di pilkada mendatang. How scary is it!

Cekrek!

Suara kamera yang ada di tanganku terdengar. Ini adalah foto kesekian kali yang aku ambil sebagai aset untuk membuat konten di waktu mendatang. "Kelihatan sangat alamiah," gumam ku pada diri sendiri. Tepat saat melihat senyum lebarnya yang tertangkap di kamera. Seolah apa yang tergambar di foto itu adalah sebuah ketulusan, meski aku pribadi tak menganggapnya demikian.

"Daripada jadi politikus, kata gue mending jadi aktor." Melihat kemampuannya dalam menata ekspresi, aku sangat yakin bahwa itu adalah sebuah bakat. Bagaimana mungkin dia yang terlihat kesal sepanjang perjalanan, tiba-tiba menjadi sangat ceria saat kami tiba di sebuah panti asuhan. Bukankah itu terdengar sangat aneh?

"Wajahnya juga cukup oke buat tampil di layar kaca." Aku masih betah melihat hasil fotonya di kameraku. Melihat dengan sesekali memperbesar gambarnya, hingga pada kesimpulan bahwa visualnya cukup tampan untuk menjadi seorang public figure.

"Kalau sampai dia menang, gue yakin itu karena wajahnya. Bukan karena hasil kerja, apalagi kepribadiannya." Meski baru mengenal, aku tak menemukan kesan yang cukup baik yang ada pada dirinya. Dia galak, menyebalkan, dan bahkan tidak bisa dibantah. Satu-satunya yang tidak bisa aku elak hanya auranya yang dominan, juga wajahnya yang memenuhi standar tampan untuk sebagian banyak orang.

"Sila!"

"Ya?" aku menjawab panggilan seseorang padaku. Namun demikian, aku tidak mengalihkan pandangan dari layar kamera. Kenapa? seolah lupa dengan keadaan sekitar, aku menganggap enteng panggilan yang baru aku dengar beberapa detik yang lalu. Padahal aku sedang ada di tempat asing, dan hanya ada satu orang yang tau namaku.

"Anjir!" Refleks aku mengumpat. Untung tidak terlalu keras, sebab akan terdengar tidak bijak jika aku mengatakannya di tempat terpuji seperti ini. Ini adalah rumah harapan bagi banyak anak-anak, dan aku tidak boleh mengotorinya dengan kata-kata kasar yang keluar dari mulutku.

Secara perlahan, aku mencoba untuk menegakkan kepala. Mencoba untuk menoleh, meski aku lakukan dengan hati-hati. "Eh, Bapak. Gimana, Pak?" tanyaku sembari meringis. Tentu dengan melihat kedua bola matanya yang menatapku tajam, aku tahu pasti bahwa dia mendengar umpatanku barusan.

"Maaf, Pak. Saya tadi kaget." Daripada berbohong dan mencoba mengelak, aku memilih untuk meminta maaf. Toh perkataanku memang tidak sopan, dan aku tidak akan bersembunyi untuk kesalahan yang memang aku lakukan.

"Ayo ikut saya." Tanpa merespon, dia justru menyuruhku untuk mengikutinya. Bahkan tak perlu repot-repot menungguku menjawab, dia langsung berbalik dan melangkah menuju salah satu kursi panjang yang memang ada di halaman samping panti asuhan Kasih Ibu yang kami kunjungi.

Aku duduk di ujung kanan, sementara Pak Bagas duduk di ujung kiri. Jika ada orang yang melihat kami sekarang, pasti akan berpikiran jika kami sedang bermusuhan karena jarak duduk kami yang terlampau jauh. "Kenapa, Pak?" tanyaku hati-hati. Dia tak kunjung bersuara, sementara mulutku sudah gatal ingin bertanya. Ingin mengetahui alasan kenapa dia tiba-tiba menyuruhku untuk mengikutinya.

Pak Bagas masih menatap ke arah anak-anak yang sedang bermain. Tak ada tanda-tanda bahwa dia tertarik untuk menoleh dan menjawab pertanyaanku. "Pak," panggilku sekali lagi.

"Hapus," hanya satu kata yang keluar dari mulutnya, dan itu tidak memberikan pemahaman sama sekali.

"Apanya?" tanyaku tak paham. Sebab tak ada konteks, tetapi dia tiba-tiba berujar seperti itu.

"Hapus foto saya. Saya tahu dari tadi kamu mengambil gambar saya dan anak-anak."

Aku mengernyitkan dahi heran. Bukankah alasannya mengajakku ke sini untuk mencari bahan konten? kenapa saat mendapatkannya justru aku disuruh menghapusnya. "Bukannya emang sengaja ke sini buat ambil gambar ya, Pak?"

"Kenapa malah dihapus? Bukannya lebih baik di upload di sosial media?"

Kali ini Pak Bagas menoleh. Wajahnya terlihat dingin, membuat nyaliku sedikit ciut. "Kamu kira saya tukang pamer?"

Aku mengangguk. Sungguh tidak sengaja, hanya gerak reflek karena aku yang sangat bodoh dalam membaca keadaan. "Bukan, Pak. Bukan seperti itu maksud saya." Untung kewarasanku segera kembali, jadi aku bisa mengatakan beberapa kata yang mungkin bisa menyelamatkanku.

"Terus?" responnya. Membuatku diam, sebab belum sempat mencari jawaban untuk pertanyaan singkat yang diajukan. Emang maksud gue apa?

"Saya tahu Bapak tulus mengajak main anak-anak, Pak. Namun saya juga tidak bisa diam saja, sebab pekerjaan saya memang memburu kebaikan Bapak dan menyebarkannya di hadapan publik." Akhirnya aku menemukan alasan yang cukup tepat dan sedikit aman. Setidaknya dalam anggapanku.

"Saya nggak suka kalau kehidupan saya dikonsumsi publik."

"Terus kenapa Bapak bawa saya?" kadang-kadang aku merutuki kebiasaanku yang cukup unik ini. Terbiasa berbicara apa adanya tanpa pertimbangan, hanya mengungkapkan dengan jelas apa yang ada di dalam pikiran. Bodoh banget lo, Cil! Lo bukan lagi ngobrol sama Doni.

Pak Bagas menghela nafas nya. "Saya mengajak kamu memang untuk mencari bahan untuk membuat konten. Tapi bukan berarti semua yang saya lakukan itu bisa dijadikan konten." Jelasnya.

"Saya belum ada menyuruh kamu melakukan apapun. Jadi seharusnya kamu hanya duduk diam, dan jangan lakukan apapun juga." Lanjutnya. Tidak dengan suara yang keras, tetapi rasanya sangat menusuk.

"Saya hanya mencoba peka, Pak. Mengambil inisiatif." Bukannya diam, aku malah masih menjawab. Bahkan jawabanku kali ini sedikit terdengar ofensif, seolah tidak mau disalahkan olehnya. Seperti mengalirkan minyak pada api kecil yang baru menyala.

"Tidak semua inisiatif itu perlu."

"Kadang-kadang inisiatif yang tidak tahu tempat justru berakibat fatal. Merusak segala hal yang sudah tersusun dengan baik."

"Saya akan hapus fotonya," akhirnya aku menuruti permintaannya. Rasanya sangat tidak penting meributkan sebuah foto yang bahwa belum aku upload itu.

"Saya tidak akan melakukan apapun jika Bapak belum menyuruh." Lanjutku menambahkan. Sedangkan Pak Bagas yang mendengarnya hanya mengangguk, tanpa satu patah pun kata yang keluar dari mulutnya. Dasar menyebalkan!

"Jangan ambil gambar apa pun di sini." Peringatnya.

"Tugas kamu dimulai setelah kita mengunjungi tempat setelah panti asuhan Kasih Ibu ini."

Aku hanya mengangguk. Meski sedikit penasaran dengan alasan dia melakukan itu, aku tak berniat untuk menanyakannya padanya. Aku tidak terlalu suka dengan dia, jadi lebih baik untuk berusaha sebisa mungkin dalam meminimalkan interaksi. Baik, Pak.

Pengen gue tonjok aja, tapi dia sumber uang gue!
Ya Tuhan, kenapa hidup gue harus begini sih?
Kenapa gue harus punya Bos gak tau diri kaya dia?
Semoga orang-orang di luar sana tidak tertipu dengan wajahnya yang ganteng itu.

Jungkir BalikWhere stories live. Discover now