"Meir, jangan sedih hanya karena memikirkan mereka" Alan bicara tanpa menatap Jian.

"Bagaimanapun mereka yang dulu memilihku diantara anak-anak yg lain, kan?" Jian menatap sisi kiri wajah Alan melewati lututnya yang masih menekuk.

"Kau diambil oleh orang tua yang payah, Meir. Menurutku mereka yang tidak dipilih justru anak-anak yang lebih beruntung ketimbang dirimu. Mungkin diantara mereka sekarang sudah menjadi anak angkat dari pejabat atau orang berpengaruh di negara ini" Alan bicara dengan begitu antusias meskipun masih berkutat dengan kegiatannya.

Jian tiba-tiba tertawa—sesuatu yang membuat Alan akhirnya bisa bernafas lega.

"Ternyata kau sangat membenci orang tua angkatku. Aku sudah bilang, ibuku sebenarnya tidak seburuk itu"

Alan menoleh Jian sekilas lalu kembali sibuk membuat lingkaran abstrak mengikuti isi pikirannya.

"Kau tidak pernah tahu apa yang kurasakan, Meir. Membayangkanmu kembali bersama mereka saja aku tidak akan sanggup" Alan langsung mengatupkan bibirnya usai bicara sembari menghentikan kegiatannya.

Jian diam tak merespon, membuat suasana kembali hening.

Perlahan Alan mengangkat wajahnya lalu memandang Jian dengan hati-hati. Tanpa sadar pemuda itu menahan nafasnya ketika lagi-lagi matanya terpaku pada bibir plumpy merah muda yang entah karena apa saat ini terlihat begitu lebih menggoda. Apa yang sejak tadi Jian lakukan sebelum dirinya datang? Menangis? Atau sengaja terus menggigit bibirnya? Atau—

Sial!

Alan mengerjap, melempar pandangan matanya pada gambar yang sudah selesai ia buat.

"Wajahmu mirip ini sekarang" Alan menunjuk gambarnya dengan ranting lalu menuliskan nama Meir di bawahnya.

Jian menurunkan satu kakinya, lalu merunduk memperhatikan gambar Alan yang membuat matanya membulat "Babi? Aku mirip babi?"

Alan menghela nafas, merasa dirinya yang balik merasa tersinggung "Bukan, ini kucing"

Raut wajah Jian melunak. Memperhatikan gambar Alan sekali lagi yang masih tak berbentuk di matanya. Bagaimana bisa Jian mengira si pembuat sketsa indah itu adalah Alan? Bahkan gambar Yuri saja jauh lebih bagus ketimbang gambar babi malang itu.

Jian melirik wajah Alan lalu kembali beralih memperhatikan gambarnya "Sebenarnya aku juga sudah mengira kalau ini kucing. Darah senimu memang tidak bisa diragukan"

Alan terkekeh "Biar aku saja yang menghiburmu, jangan sebaliknya"

Jian balas tertawa, entah sejak kapan ia mulai lupa dengan masalahnya.

Alan kemudian berdeham lalu menatap Jian lebih dalam "Meir, aku merasa senang kau tinggal bersamaku. Aku juga senang bisa lebih mengenalmu. Jika kau butuh bantuan—"

"Kau sudah banyak membantuku" Jian buru-buru memutus "Sekarang-pun kau bahkan mencoba untuk menghiburku. Aku sangat berterima kasih"

Alan mengangguk ragu lalu melemparkan pandangannya ke depan. Berusaha kuat untuk tidak menyentuh orang yang ada di sampingnya meskipun sebatas memberi pelukan atau mengusap puncak kepala Jian.

Alan mampu menahannya.

"Kau sudah makan?" Alan sedang mengalihkan pikirannya.

Jian menggeleng.

Alan berdiri dari duduknya lalu menoleh menatap Jian sembari memamerkan lesung pipinya "Kau mau apa? Aku akan menraktirmu"

Jian balas tersenyum, lalu membiarkan Alan melangkah mendahuluinya sementara ia mengeluarkan ponsel—mengambil gambar kucing berwajah babi buatan Alan, setelahnya ia mengacak coretan tanah itu dengan kakinya hingga tak berbentuk.

Middle Name | JAEWOO [END]Where stories live. Discover now