Sejak satu jam yang lalu hanya Jian satu-satunya yang berada di taman itu, ia hanya ingin menghabiskan waktunya sendiri sampai merasa bosan lalu berharap bisa kembali ke Greeceland dengan suasana hati yang lebih baik.

Di tengah-tengah lamunannya, Jian mendapatkan pesan di ponselnya. Sebuah pesan dari seseorang yang pagi tadi sempat membuatnya tersenyum.

|Alan
22:25 Meir, kau di mana?

|Jian
22:30 Mencari udara segar

|Alan
22:30 Di mana?

|Jian
22:32 [Loc]

Jian hanya berniat untuk memberitahu posisinya pada Alan, tidak berharap orang yang sudah memberinya tempat tinggal itu datang menemuinya. Namun setelah hampir 30 menit berlalu, mobil sedan yang Jian kenali milik Alan muncul.

Jian mengangkat kepalanya lalu memandangi Alan, pemuda itu masih menggunakan kemeja putihnya yang bagian lengannya sudah tergulung hingga siku. Setelah memakirkan mobilnya di sisi taman, Alan langsung berjalan mengahampiri Jian lalu duduk di dekatnya, menyebarkan aroma white suede, Tom Ford yang sukses memanjakan penciuman Jian.

"Kenapa harus sejauh ini hanya untuk mencari udara segara?" Alan bicara sembari menatap Jian.

Jian tak menjawab pertanyaan Alan. Matanya beralih memandang lurus ke sebuah ayunan bertali rantai yang hampir berkarat "Aku pernah jatuh di sana" ia menunjuk objek yang sejak tadi ia amati.

"Menangis?" Alan sama sekali tak tertarik dengan apa yang Jian tunjuk. Ia hanya ingin mengamati orang yang ada di sampingnya, duduk meringkuk menghadap ke arahnya.

"Tidak. Sampai rumah Lukanya kututupi. Takut ibuku marah"

Hening sesaat.

"Ada sesuatu yang terjadi?" Tanya Alan.

"Tidak ada"

Alan mengangguk kecil, sedang berusaha memahami "Meir, aku masih ingat semalam kau yang mengatakan jika kau bersedia menjadi pendengar yang baik. Akupun sama, aku bisa menjadi orang yang kau percaya"

Bahu Jian meluruh, rasa sesak itu datang lagi.
"Aku sedang merasa bersalah dan ingat ibuku. Dia sakit tapi aku tidak bisa memberikan apapun"

Alan tersengal lalu menghela nafas kasar "Meir? Jangan membuang-buang waktu. Ibumu bahkan belum tentu mengingatmu"

Jian langsung melempar tatapan sinis pada Alan, bersiap melontarkan kalimat protes pada sosok yang baru saja bersedia menjadi orang yang dapat ia percaya "Kau tahu bagaimana cara menghibur tidak, sih?"

Alan terdiam.

"Siapa yang memberitahu kabar ibumu?" Tanya Alan dengan suara lemah.

"Orang yang selalu menagih hutang ayahku, dia menghubungiku siang tadi. Bulan lalu ibuku tidak mencicil uang padanya karena dia perlu untuk membayar rumah sakit" Jian menjelaskan secara singkat.

Emosi Alan kembali "kenapa menghubungimu? Apa kau yang masih membayarnya setiap bulan?"

Jian mengangguk.

Lagi-lagi Alan menghela nafasnya "Kukira kau sudah terlepas dari keluargamu. Astaga, tidak. Mereka bahkan bukan keluargamu" Alan menatap Jian tak menyangka.

"Sudahlah, kau memang tidak akan pernah mengerti" Jian menyerah.

Karena itu aku sedang mencoba lebih memahamimu, batin Alan.

Jian kembali terdiam. Memperhatikan Alan yang kini beranjak dari tempatnya, berjalan ke sekeliling taman selama beberapa menit lalu kembali dengan sebatang ranting kering yang semula tergeletak di bawah pohon cassia.

Alan kembali duduk di tempatnya, sedikit menaikkan kembali gulungan lengan kemejanya lalu merunduk, menggambar sesuatu di permukaan tanah halus dengan rantingnya.

Middle Name | JAEWOO [END]Where stories live. Discover now