Api dan Kontraksi

41 9 9
                                    

Lisa, Ade, dan Aca terbangun kala suara dari speaker bergema di tiap sudut gedung Silver. Ketiganya terkesiap karena keadaan gelap gulita. Matahari sudah tenggelam sempurna di ufuk barat.

"Itu suara Kak Nei, kan?" bisik Lisa yang mendengarkan pengumuman dengan seksama.

Aca diam sebentar, lalu mengiyakan.

Ade beranjak dari duduknya dan mendekat ke arah pintu. Ia menyipitkan mata kala melihat adanya cahaya kekuningan di lorong. Sepertinya ada api. Buru-buru gadis itu menekan saklar, membuat lampu lab menyala.

"Ade!" Lisa mengerjapkan mata. Alisnya bertaut, menandakan ketidaksukaan.

"Lorong aman. Di luar ada api. Kita harus ngecek, bisa jadi kebakaran," ujar Ade yang mulai cemas.

Mendengar penjelasan Ade, Lisa terkesiap. Ia langsung berlari ke arah pintu kaca dan mengintip. Benar saja. Tampak sesuatu terbakar di ujung lorong.

"Ruang aula di gedung umum jadi tempat evakuasi. Kalian bisa datang satu atau dua jam setelah pengumuman ini. Hati-hati. Kalau nggak bisa datang, kita akan usahakan untuk cari kalian. Pencarian paling cepat besok. Stop pandang level. Kita semua manusia yang layak selamat." Suara Aneisha memenuhi ruang lab. Rasa bingung bercampur panik mulai dirasakan ketiga gadis itu.

Lisa menoleh ke arah Frey yang masih terlelap dengan posisi duduk selonjor. Gadis itu mendengus, kemudian bergegas menghampiri. "Frey! Frey, bangun! Lo harus dengar pengumuman! Frey, buruan bangun!"

Frey membuka matanya yang terasa lengket. Ia mengeluh pelan, lalu menyingkirkan tangan Lisa yang sejak tadi sibuk menepuk pipinya. "Iya, Lis. Sabar."

Kalau Lisa sibuk dengan Frey, kini Ade sibuk dengan Aca. Ade mengecek kondisi lutut gadis berlesung pipi itu. Benar dugaan mereka, lutut Aca memar.

"Coba tekuk kaki lo."

Aca menggeleng pelan. "Nggak. Dilurusin gini aja udah sakit, De."

"Kita nggak bisa pergi ke gedung umum dengan kondisi Aca yang kayak gini. Gue juga ragu sama kata-kata Kak Nei. Kalaupun pencarian dimulai besok, nggak akan mudah evakuasi siswa di sekolah yang besar."

Lisa mengangguk, menyetujui ucapan Ade. "Kita juga nggak tau sekacau apa keadaan di luar."

Frey yang sibuk mengumpulkan kesadaran langsung menoleh saat merasa tangannya menggenggam sesuatu. Saat membuka genggaman tangannya, ia sontak mengernyitkan dahi. Bingung. "Sejak kapan gue ...."

"Lis." Frey menyerahkan sekaplet obat pereda nyeri yang entah kapan ia genggam pada Lisa, "obat anti nyeri. Harusnya ini bisa bantu Aca."

"Eh? Lo ketemu di mana? Katanya di sini nggak ada, terus harus nyari ke ruang PKS?"

Ade dan Aca yang mendengar itu sontak menoleh. Melihat tatapan bingung yang tertuju padanya membuat Frey semakin tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia juga sama bingungnya. Yang Frey ingat, dia gagal ke ruang PKS, zombi menyerang, dan ....

Belum sempat mengingat semuanya secara utuh, mendadak kepala Frey berdenyut. Bersamaan dengan itu, kedua telinganya turut berdengung. Gadis itu menunduk, menahan sakit.

"Frey? Frey, lo kenapa?" Lisa yang melihat Frey kesakitan sontak panik. Ia gelagapan, bingung harus apa.

"Frey kenapa?" Ade yang sedari tadi menonton langsung mendekat. Lisa menjawab pertanyaan Ade dengan sebuah gelengan pelan, menandakan kalau dia juga tidak tahu apa yang terjadi.

Rasa ngilu dan sakit itu berlangsung selama lima belas detik. Frey berkeringat dingin, napasnya pun tak beraturan.

"Frey jawab! Lo nggak papa? Kepala lo sakit?" tanya Lisa dengan suara bergetar.

The Isolatedحيث تعيش القصص. اكتشف الآن